Urgensi Memahami Fiqh Nisa’: Sebuah Refleksi dan Motivasi

Oleh : Ust. Muhammad Fashihuddin

Malang – Fikih merupakan satu dispilin keilmuan dalam Islam yang wajib dipelajari oleh kalangan santri. Setiap pesantren ataupun lembaga pendidikan pasti akan mengkaji fikih sebagai salah satu kurikulum wajib. Mengingat pentingnya fikih sebagai acuan dalam amal ibadah, sebab bilamana seorang muslim beribadah tanpa menguasai ilmunya, maka amaliahnya dianggap tertolak secara syariat. Hal ini sebagaimana ditegaskan oleh Ibn Ruslan dalam Nazhm Zubad yang populer dihafal di kalangan santri:

وَكُلُّ مَنْ بِغَيْرِ عِلْمٍ يَعْمَلُ # أَعْمَالُهُ مَرْدُوْدَةٌ لَا تُقْبَلُ

“Setiap orang yang beramal tidak menggunakan ilmunya, maka amaliahnya tertolak dan tidak dikabulkan oleh Allah Swt” (Ibn Ruslan, al-Zubad fi al-Fiqh al-Syafi’i, [Beirut: Dar al-Ma’rifah, tt], Hal. 4)

Salah satu genre fikih yang populer, bahkan dijadikan sebagai konsentrasi studi adalah fiqh nisa’. Ya, sebuah disiplin ilmu yang cenderung fokus membahas kajian kewanitaan dari aspek fikih. Kendati, memang antara laki-laki dan perempuan sebenarnya mendapat porsi yang sama dalam ruang lingkup fikih, namun perhatian terhadap perempuan lebih tersorot. Mengapa demikian? Sebab perempuan adalah sumber dan pondasi. Permasalahannya begitu pelik seiring dengan kodrat yang dibebankan kepadanya, sekalipun derajatnya mampu lebih tinggi dibanding laki-laki. Maka, dibutuhkanlah fiqh nisa’ sebagai ruang untuk mengkaji lebih dalam terkait aspek kewanitaan dari sisi fikih yang menghimpun beberapa kaul fukaha.

 

Domain Fiqh Nisa’

Berbicara masalah domain atau ruang lingkup fiqh nisa’, terlebih dahulu harus kita batasi apa maksud dari ‘fiqh nisa’ itu sendiri?

Untuk menjawab pertanyaan di atas, setidaknya ada dua batasan sebagai berikut:

Pertama, fiqh nisa’ bermakna umum, yakni fiqh yang bersinggungan dengan perempuan secara umum (al-fiqh al-muta’alliq bi al-nisa’ ‘umuman). Artinya, dapat pula bersinggungan dengan laki-laki. Seperti: fiqh thaharah, shalat, zakat, puasa, haji, munakahah, mu’amalah, waris, jinayah, dll. Dimana perempuan turut andil dalam bingkai fiqh ini.

Kedua, fiqh nisa’ bermakna khusus, yakni fiqh yang bersinggungan dengan perempuan saja (al-fiqh al-muta’alliq bi al-nisa’ khushushan). Seperti: fiqh haid, nifas, dan istihadhah; atau juga beberapa varian kasuistik yang khusus tentang perempuan, seperti: masalah cadar, jilbab/hijab, wanita sebagai orang yang mengandung & melahirkan anak, mengeluarkan ASI, dll.

Kedua batasan di atas sama-sama berlaku dan ditemukan di dalam kajian fikih di berbagai literatur manapun. Bilamana kita perinci secara persentase domainnya, maka kita temukan bahwa fiqh nisa’ bermakna umum bisa mencapai 85% dan fiqh nisa’ bermakna khusus hanya mencapai 15%. Untuk itulah, pada domain kedua (fiqh nisa’ khusus) di dalam kitab fikih selalu diarahkan pada bab darah (haid, nifas, dan istihadlah).

 

Persinggungan antara Era Kolonial dan Era Milenial

Setidaknya yang dimaksud dengan kolonial dan milenial di sini hanya sebatas klasifikasi zaman atau era di mana perempuan lahir dan hidup di dunia. Tentu secara karakteristiknya, perempuan era kolonial dengan era milenial, ditemukan perbedaan yang cukup signifikan. Misalnya, perempuan era dulu, dominasi ruang geraknya hanya pada sektor privat, alias di rumah; mengerjakan pekerjaan rumah tangga dan mengasuh anak. Sehingga, area publik jarang dijamah oleh mereka, sebab pola pikir prioritas adalah bagaimana mencerdaskan anak di bawah bimbingan ibunya sendiri. Berbeda dengan perempuan era milenial atau era sekarang, perempuan semakin banyak yang bergerak di ruang publik. Entah menjadi wanita karir hingga terjun di dunia politik.

Jika kita amati secara seksama, maka dengan perbedaan ruang gerak tersebut, nantinya dapat ditemukan perbedaan hukum pula dalam fikih untuk menanggapi persoalan-persoalan kekinian. Misalnya, bagaimana ihdad perempuan dikala mereka masih aktif dengan media sosialnya, sementara zaman dulu tidak dikenal media sosial. Bagaimana kewajiban seorang isteri ketika ia dan suaminya saling bekerja untuk mencukupi kebutuhan keluarga.

Oleh karena itu, seiring berkembanganya zaman, fikih tidak bersifat statis, melainkan dinamis. Tetapi, dinamisasi pada fikih ini tidak boleh ditinjau melalui argumentasi akal saja, melainkan harus didukung dengan adanya dalil-dalil yang kuat sebagai legitimasi hujjah.

 

Urgensi Memahami Fiqh Nisa’

Mengapa memahami fiqh nisa’ itu penting? Dan untuk siapa beban ini diperuntukkan?

Memahami fiqh nisa’ itu sama pentingnya dengan memahami fiqh pada umumnya. Hanya saja, fiqh nisa’ ini lebih terpandang dan lebih pelik urusannya dibandingkan perihal lainnya. Tentu yang berhak mempelajari dan mengembangkannya, tidak cukup perempuan, melainkan laki-laki juga turut andil.

Misalnya, hal yang berkaitan dengan hukum darah, sebenarnya ini adalah pengalaman khusus perempuan yang tidak dialami oleh laki-laki. Akan tetapi, kadangkala dengan minimnya pengetahuan si perempuan, lebih lagi ketika sedang berhadapan dengan menstruasi misalnya, maka kondisi emosi dan mentalnya menjadi tidak stabil, sehingga lebih nyaman bilamana dipasrahkan kepada laki-laki untuk menentukan hukumnya. Ketika laki-laki ditanya terkait hal ini, maka ia pun juga harus belajar.

Kendati demikian, perempuan lebih dibebankan untuk dapat memahami persoalannya sendiri. Maka dari itu, memahami fiqh nisa’ begitu penting dengan alasan sebagai berikut:

Pertama, perempuan harus tampil cerdas dan berakhlak karimah, sehingga menjadikan perempuan sebagai pribadi alim dan shalih. Kesalihan didapat dengan jalan ilmu dan amal. Setidaknya, imbas dari kesalihan perempuan ini, dapat mengangkat derajat perempuan lebih tinggi. Salah satu sabda Rasulullah Saw berikut menempatkan posisi perempuan yang shalih satu tingkat di bawah takwa, sebagai berikut:

….مَا اسْتَفَادَ الْمُؤْمِنُ بَعْدَ تَقْوَى اللهِ خَيْرًا مِنْ زَوْجَةٍ صَالِحَةٍ

“Tidaklah seorang mukmin mendapat sebuah kebaikan setelah bertaqwa kepada Allah , melainkan (mendapatkan anugrah) istri salihah” (Ibn Majah, Sunan Ibn Majah, [Beirut: Dar Ihya’ al-Kutub al-‘Arabiyyah, tt], Juz 1, Hal. 596, No. 1857).

Kedua, perempuan harus berani tampil di muka publik untuk menyebarkan ilmu, terutama berkaitan dengan fiqh nisa’ di majelis taklim ibu-ibu atau yang lebih luas daripada itu. Ini menjadi PR bagi kita, mengingat begitu minimnya kader-kader alim dari kalangan perempuan yang mau terjun langsung mencerdaskan kaum perempuan. Setidaknya bukti nyata sekarang bahwa majelis taklim didominasi oleh perempuan, hanya saja pengisi/penceramahnya adalah laki-laki. Maka seharusnya dengan kemudahan akses ilmu dan intensitas pertemuan antara santri dan kyai era sekarang, menjadi terbantu untuk mewujudkan kader perempuan alim yang dapat terjun di masyarakat langsung. Kita memiliki tanggungjawab untuk mencetak seperti Sayyidah Aisyah; isteri Rasulullah Saw atau Sayyidah Nafisah; guru dari Imam Syafi’i di era milenial ini.

Wallahu a’lam…