Email : msaa.al.aly@gmail.com
Perceraian Melalui Bentuk Tulisan Atau Pesan Chat Maka Sah Atau Tidak Talaq Tersebut?
Malang – Dalam era globalisasi ini, banyak pasangan suami-istri yang terpaksa menjalani hubungan jarak jauh (LDR) karena berbagai alasan, seperti pekerjaan, pendidikan, atau urusan keluarga. Meskipun teknologi telah memudahkan kita untuk tetap terhubung, tidak jarang LDR menyimpan tantangan tersendiri, terutama dalam hal komunikasi. Pentingnya komunikasi dalam sebuah hubungan tidak bisa diragukan. Namun, selama LDR, ketidakmampuan untuk membaca ekspresi wajah atau bahasa tubuh dapat menyulitkan pemahaman emosional. Pesan-pesan tertulis atau pesan chat mungkin tidak dapat sepenuhnya menyampaikan nuansa emosional yang dapat muncul dalam percakapan tatap muka. Pada titik tertentu dalam LDR, terkadang komunikasi yang bermasalah dapat mencapai puncaknya, mendorong salah satu pasangan untuk mengambil langkah drastis seperti talaq melalui tulisan atau pesan chat. Keputusan ini mungkin merupakan hasil dari frustrasi, ketidakpahaman, atau bahkan kesulitan untuk mengungkapkan perasaan secara langsung.
Berdasarkan ucapannya talak dibedakan menjadi dua macam yaitu talak secara sharih dan kinayah. Talak sharih merujuk pada talak yang dinyatakan dengan jelas dan tegas, tanpa menyisakan keraguan atau tafsiran alternatif. Contohnya, jika seseorang menulis, “Aku menceraikanmu” dengan kata-kata yang eksplisit. Sedangkan kinayah merujuk pada talak yang diungkapkan secara tidak langsung atau melalui simbol-simbol. Contohnya, “Anti Haramun” Dalam konteks ini, tulisan bisa mengandung arti perceraian, tetapi tidak secara langsung dan mungkin memerlukan interpretasi. Jika suami menulis talak, baik secara sharih atau kinayah, tanpa niat untuk benar-benar menceraikan istrinya, maka talak tersebut dianggap batal. Inti dari hal ini adalah bahwa niat atau maksud suami memainkan peran kunci dalam sah atau tidaknya talak. Untuk memastikan kesahihan talak, jika suami menulis talak secara kinayah, ia harus mengungkapkan maksud sebenarnya dengan cara yang lebih jelas, seperti menyatakan secara tegas bahwa ia bermaksud menceraikan istrinya. Hal ini bisa dilakukan melalui komunikasi lisan atau tulisan tambahan yang menjelaskan niat perceraian.
Pernyataan tersebut memberikan contoh tentang kasus orang bisu yang menulis talak. Dalam kasus ini, jika orang bisu menulis sesuatu yang bersifat kinayah, seperti “Saya bermaksud menceraikan,” maka itu dianggap sebagai ungkapan tegas tentang niat perceraian. Memberi tahu istri atau wali (wakil sah yang mewakili pihak wanita dalam pernikahan) adalah langkah penting setelah menulis talak. Hal ini dimaksudkan agar pihak wanita menyadari niat suami dan dapat mengambil tindakan yang sesuai dengan hukum Islam. Berikut redaksi dari kitab Fathul Mu’in:
(قوله: فرع) أي في بيان أن الكتابة كناية سواء صدرت من ناطق أو من أخرس، فإن نوى بها الطلاق وقع لأنها طريق في إفهام المراد – كالعبارة – ويعتبر في الأخرس إذا كتب الطلاق أن يكتب إني قصدت الطلاق أو يشير إلى ذلك (قوله: لو كتب) أي إلى زوجته أو إلى وليها.
Artinya : “(Pepatahnya: sebatang ranting) maksudnya dalam menerangkan bahwa tulisan itu adalah kinayah, baik yang berasal dari orang yang berbicara maupun yang bisu, maka jika ia berniat menceraikannya, maka terjadilah karena itu adalah cara untuk memahami apa yang dimaksud seperti ungkapan dan dianggap dalam kasus orang bisu jika dia menulis talak yang dia tulis, “Saya bermaksud menceraikan” atau menunjukkan bahwa (Jika dia menulis) yaitu kepada istrinya atau kepadanya wali. “
Pentingnya niat dalam sharih dan kinayah pernyataan ini menekankan bahwa, baik dalam talak sharih maupun kinayah, niat memainkan peran sentral dalam menentukan sah atau tidaknya perceraian. Jika seseorang mengucapkan atau menulis sesuatu tanpa niat untuk menceraikan, maka tindakan tersebut dianggap tidak memicu perceraian. Dikatakan bahwa jika seseorang mengucapkan kata-kata atau perumpamaan yang menyertai apa yang tertulis, dan itu tidak bermaksud untuk menceraikan, maka tindakan perceraian tidak terjadi. Ini menyoroti pentingnya konsistensi antara apa yang tertulis dan apa yang diucapkan, serta niat yang mengarah pada tindakan perceraian. Tersurat dan tersirat ada perbedaan antara apa yang tersurat (ditulis) dan tersirat (dinyatakan secara tidak langsung). Pernyataan tersebut menegaskan bahwa jika ada sesuatu yang tertulis tanpa niat, itu disebut talak. Namun, jika itu kinayah, perlu ada ucapannya dan niat untuk menceraikan. Berikut redaksi dari kitab Fathul Mu’in dari penjelasan diatas:
وأفاد به أنه إذا تلفظ بالمكتوب الكنائي ولم ينو إيقاع الطلاق لا يقع وهو كذلك إذ الكناية محتاجة إلى النية مطلقا – سواء كتبت أولم تكتب – فتحصل أن التلفظ بالمكتوب من غير نية يقع به الطلاق إذا كان صريحا، فإن كان كناية فلا بد مع التلفظ به من النية. [البكري الدمياطي ,إعانة الطالبين على حل ألفاظ فتح المعين ,4]
Artinya : “(Pepatahnya: Apa yang tidak terucap, dll.) adalah larangan dalam kenyataan bahwa apa yang tertulis itu tidak jelas, dan tidak menutup kemungkinan jika ia mengucapkannya tanpa niat, maka ia terjatuh. Dan ucapannya secara sharih itu adalah apa yang ditulisnya: yaitu sesuai dengan apa yang dituliskan dengan sharih dalam talak, maka penambahannya adalah dari penambahan kata sifat pada apa yang diuraikan. Dikatakannya, jika ia mengucapkan kata perumpamaan itu dan tidak bermaksud untuk menimbulkan perceraian, maka tidak terjadi perceraian, dan demikianlah adanya, karena perumpamaan itu mutlak memerlukan niat, baik tertulis maupun tidak, maka timbullah ucapan itu. ucapan yang tertulis tanpa niat, kalau tersurat, maka disebut talak, jika kinayah, maka harus disertai ucapannya, Niat”. [Al-Bakri Al-Damiati, Membantu Santri Memecahkan Kata-kata Fath Al-Mu’in, 20/4]
Lalu bagaimana jika terjadi redaksi talak yang diulang-ulang tergantung niatnya suami? Sebagaimana redaksi dalam kitab Bugyatul Mustarsyidin:
(مَسْأَلَةٌ : ك) : كَرَّرَ صَرَائِحَ الطَّلَاقِ أَوْ كِنَايَاتِهِ وَلَوْ مَعَ اخْتِلَافِ أَلْفَاظِهِ أَوْ أَكْثَرَ مِنْ ثَلَاثِ مَرَّاتٍ ، كَأَنْتِ طَالِقٌ طَلَّقْتُكِ أَنْتِ مُطَلَّقَةٌ , أَوْ أَنْتِ طَالِقٌ مُفَارَقَةٌ مُسَرَّحَةٌ ، أَوْ أَنْتِ بَائِنٌ اِعْتَدِّيْ اُخْرُجِيْ ، فَإِنْ قَصَدَ التَّأْكِيْدَ فَوَاحِدَةٌ ، وَإِنْ قَصَدَ الْاِسْتِئْنَاف أَوْ أَطْلَقَ تَعَدَّدَ.
Artinya : “(pertanyaan) : dia mengulangi ungkapan talak atau kinayahnya, walaupun dengan kata-kata yang berbeda, atau lebih dari tiga kali, seolah-olah kamu diceraikan, aku menceraikan kamu, kamu diceraikan, atau kamu diceraikan, dipisahkan dan diberhentikan. Atau anda tegas, maka keluarlah . jika dia bermaksud untuk mengkonfirmasi, maka satu, dan jika dia bermaksud mengajukan banding atau beberapa kali jatuh talak”. Bugyatul Mustarsyidin halaman 474, Maktabah syamilah (halaman 225, cetakan Al-Alawiyyah).
Bahwasannya ungkapan talak atau kinayahnya dengan menggunakan kata-kata yang berbeda atau melakukannya lebih dari tiga kali. Jika suami mengucapkan kata-kata yang menunjukkan perceraian seakan-akan sudah terjadi, seperti “kamu diceraikan” atau “aku menceraikan kamu,” atau menggunakan ungkapan yang serupa, maka itu dianggap sebagai talak. Akan tetapi Jika suami tegas dan mengulangi ungkapan tersebut dengan maksud yang jelas untuk menceraikan, maka talak dianggap sah dan berlaku. Namun, pertanyaan menunjukkan bahwa jika suami bermaksud untuk mengkonfirmasi talak, maka itu dihitung sebagai satu talak. Namun, jika niatnya adalah untuk mengajukan banding atau melakukannya beberapa kali sebagai bentuk tindakan berulang, maka hal itu dapat memiliki konsekuensi yang berbeda, dan talak tersebut dihitung sesuai dengan niat dan konteksnya. Pemahaman ini mencerminkan prinsip dalam hukum Islam yang mempertimbangkan niat dan konteks dalam menentukan sah atau tidaknya talak, serta konsekuensi dari pengulangan tindakan tersebut.
Lalu bagaimana jika suami mengirim pesan yang masih dalam keadaan jamkot atau belum tersampaikan kepada istrinya maka apakah talaknya tetap jatuh?. Berikut redaksi dari kitab Hasyiyah Al-Jamal Alaa Syarhil Manhaj:
( فَرْعٌ ) كَتَبَ أَنْتِ أَوْ زَوْجَتِيْ طَالِقٌ وَنَوَى الطَّلَاقَ طَلُقَتْ ، وَإِنْ لَمْ يَصِلْ كِتَابُهُ إلَيْهَا ؛ لِأَنَّ الْكِتَابَةَ طَرِيْقٌ فِيْ إِفْهَامِ الْمُرَادِ كَالْعِبَارَةِ وَقَدْ قُرِنَتْ بِالنِّيَّةِ ، فَإِنْ لَمْ يَنْوِ لَمْ تَطْلُقْ ؛ لِأَنَّ الْكِتَابَةَ تَحْتَمِلُ النَّسْخَ وَالْحِكَايَةَ وَتَجْرِبَةَ الْقَلَمِ وَالْمِدَادِ وَغَيْرِهَا
“Dia menulis “Kamu atau istriku sudah bercerai” dan dia bermaksud menceraikannya, meskipun suratnya tidak sampai padanya; Karena menulis adalah cara memahami apa yang dimaksud, ibarat sebuah ungkapan yang dibarengi dengan niat, sehingga kalau tidak diniatkan tidak diceraikan; Karena menulis melibatkan penyalinan, narasi, dan eksperimen dengan pena, tinta, dan lain-lain.” Hasyiyah Al-Jamal ‘Alaa Syarhil Manhaj juz 18 halaman 138-142, maktabah syamilah, 4/332-333,
Pernyataan tersebut menjelaskan situasi di mana seseorang menulis pesan perceraian dengan niat menceraikan, meskipun surat tersebut tidak sampai kepada pihak yang bersangkutan. Penjelasannya mencakup ide bahwa menulis adalah bentuk ekspresi yang melibatkan niat dan pemahaman. Jika seseorang menulis dengan maksud perceraian, meskipun suratnya tidak terkirim, tindakan menulis tersebut tetap dianggap sebagai pemutusan hubungan pernikahan. Persamaannya adalah bahwa menulis merupakan ungkapan yang dilandasi oleh niat, sehingga tanpa niat perceraian, tulisan tersebut tidak akan mencapai efek perceraian. Proses menulis juga disoroti, mencakup penyalinan, narasi, dan eksperimen dengan pena, tinta, dan sejenisnya, yang menambah kedalaman dan seriusnya tindakan menulis dalam konteks perceraian.
Dengan demikian bisa diketahui bahwasannya sah atau tidaknya talak melalui bentuk tulisan atau pesan chat itu hukumnya sah dilihat dari tulisannya, ada yang menyatakan dengan sharih dan ada yang menyatakannya dengan kinayah sekalipun tulisan itu belum sampai kepada istrinya. prinsip-prinsip ini dirancang untuk melindungi hak-hak perempuan dan mencegah penyalahgunaan talak. Hukum Islam menekankan pentingnya niat yang jelas dan pengungkapan maksud secara transparan dalam proses perceraian serta kehati-hatian yang diperlukan dalam masalah talak dalam hukum Islam, di mana niat dan konsistensi antara kata-kata dan perbuatan memiliki dampak besar terhadap sah atau tidaknya perceraian.
Wallahu a’lam bi al-shawab.