Perbedaan Pertimbangan Antara Wildah dan Bikarah dalam Memilih Calon Istri

Oleh : Nurma Millatina*

Malang – Perihal memilih calon istri sebagai pasangan hidup janganlah dipandang sebagai suatu hal remeh, karena hal tersebut layaknya manifestasi dalam menentukan hal yang terbaik untuk kehidupan jangka panjang seseorang. Dalam mencari dan menentukan calon istri, Islam sudah memberikan keterangan mengenai kriteria atau sifat-sifat yang dianjurkan dalam memilih calon istri bagi kaum Adam. Sebuah Hadits mengatakan:

٩٧١ – وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ – رضي الله عنه – عَنِ النَّبِيِّ – صلى الله عليه وسلم – قَالَ: «تُنْكَحُ الْمَرْأَةُ لِأَرْبَعٍ: لِمَالِهَا، وَلِحَسَبِهَا، وَلِجَمَالِهَا، وَلِدِينِهَا (١)، فَاظْفَرْ بِذَاتِ الدِّينِ تَرِبَتْ يَدَاكَ» مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ مَعَ بَقِيَّةِ السَّبْعَةِ (٢).

“Dari Abu Hurairah r.a, bahawasanya Rasulullah SAW bersabda: Wanita dinikahi karena empat perkara; karena hartanya, keturunannya, kecantikannya, dan agamanya; maka)pilihlah wanita yang taat beragama, niscaya engkau beruntung” (Bulugh al-Mahram/375)

Selain empat aspek di atas, juga ada beberapa aspek lain yang disunnahkan, seperti dua di antaranya: sifat wiladah (kesuburan) dan bikarah (perawanan). Dalam kitab Syarh Shohih Muslim (https://shamela.ws/book/37026/1169), bahwa bikr (perawan) adalah seorang yang belum pernah melakukan hubungan badan dan ia adalah seorang yang merdeka, dewasa dan berakal. Dalil kesunnahan bikr didasarkan pada riwayat Jabir, ketika Rasulullah bertanya kepadanya:

قَالَ: (أَتَزَوَّجْتَ). قُلْتُ: نَعَمْ، قَالَ (أَبِكْرًا أَمْ ثَيِّبًا). قَالَ: قُلْتُ: بَلْ ثَيِّبًا، قَالَ: (فَهَلَّا بِكْرًا تُلَاعِبُهَا وَتُلَاعِبُكَ)

Beliau bertanya: “Apakah kamu telah menikahi seorang wanita?” Aku menjawab: “Ya.” Beliau bertanya lagi: “Dengan gadis ataukah janda?” Aku menjawab, “Janda.” Beliau bersabda: “Kenapa tidak dengan gadis sehingga kamu dapat bermain-main dengannya dan ia pun dapat bermain-main denganmu?.” (Shohih al-Bukhori 5/2009)

Adapun walud adalah perempuan yang subur (dapatnya memberikan keturunan banyak). Cara mengetahui wanita yang walud dapat dilihat dari keluarganya (kerabat-kerabatnya yang senasab), apakah dari kelurga yang subur atau tidak. Dalil dianjurkannya wanita yang walud:

وَيُسْتَحَبُّ وَلُودٌ وَدُودٌ لِخَبَرِ تَزَوَّجُوا الْوَلُودَ الْوَدُودَ فَإِنِّي مُكَاثِرٌ بِكُمْ الْأُمَمَ يوم الْقِيَامَةِ رَوَاهُ أبو دَاوُد وَالْحَاكِمُ وَصَحَّحَ إسْنَادَهُ وَيُعْرَفُ كَوْنُ الْبِكْرِ وَلُودًا وَدُودًا بِأَقَارِبِهَا نَسِيبَةٌ

“Nikahilah wanita yang penyayang lagi memiliki banyak keturunan, maka sesungguhnya aku akan berbangga-bangga dengan banyaknya kalian di depan umat lainnya pada hari Kiamat.” (HR. Abu Daud, an-Nasa`i dan Ahmad- Isnadnya shahih). (Asnaa al-Mathaalib III/197) (Asna’ Mathalib 3/108)

Berbicara tentang dua sifat tersebut, pada realitanya seseorang laki-laki berpotensi akan menghadapi suatu persoalan, misalnya: bagaimana jika ditemukan bentrokan antara sifat walud dengan sifat bikr setelah ia mempertimbangkan agama, akal dan keluhuran akhlak perempuan. Seorang laki-laki dihadapkan pada kebimbangan dalam menentukan dua opsi calon istri dalam waktu yang bersamaan. Pertama, perempuan gadis (bikr) namun tidak subur (walud). Kedua, perempuan walud namun tsayyib (janda/tidak gadis). Sementara kedua perempuan tersebut setara mulai dari aspek agama, akal maupun keluhuran akhlak. Lalu yang menjadi pertanyaan, hendaknya laki-laki mengutamakan yang mana dari dua sifat tersebut?

Menanggapi hal ini, pada dasarnya para ulama fikih tidak berbeda pendapat mengenai sifat bikarah dan wiladah sebagai sifat yang dianjurkan dalam memilih calon istri. Akan tetapi, para ulama berselisih pendapat terhadap sifat-sifat yang dianjurkan (matlubah) setelah 4 hal (agama, akal, akhlak baik dan nasab), termasuk di antaranya sifat wiladah dan bikarah. Perbedaan ini disebabkan oleh bagaimana ijtihad mereka dalam menilai manakah yang maslahah dari keduanya.

Imam Syamsu al-Dinn al-Ramli berpendapat untuk mendahulukan sifat bikarah atas wiladah ketika terjadi bentrokan. Beliau menjustifikasi menurut ijtihadnya bahwa mendahulukan bikarah atas wiladah lebih banyak mengandung maslahah. Dikatakan:

وَلَوْ تَعَارَضَتْ تِلْكَ الصِّفَاتُ فَالْأَوْجَهُ تَقْدِيمُ ذَاتِ الدِّينِ مُطْلَقًا ثُمَّ الْعَقْلُ وَحُسْنُ الْخُلُقِ ثُمَّ النَّسَبُ ثُمَّ الْبَكَارَةُ ثُمَّ الْوِلَادَةُ ثُمَّ الْجَمَالُ ثُمَّ مَا الْمَصْلَحَةُ فِيهِ أَظْهَرُ بِحَسَبِ اجْتِهَادِهِ.

“Jika terjadi bentrokan antar sifat-sifat (mathlubah) tersebut, maka menurut pendapat yang aujah adalah mendahulukan aspek agama secara mutlak, lalu akal, akhlak yang baik, kemudian nasab kemudian bakarah, kemudian wiladah kemudian jamal kemudian apa yang maslahah di dalamnya yang lebih jelas menurut ijtihadnya” (Nihayah al-Muhtaj 1/185)

Sementara Imam Ibn Hajar al-Haitami berpendapat sebaliknya, beliau berpendapat mendahulukan sifat wiladah atas bikarah ketika terjadi bentrokan. Sebagaimana justifikasi yang dinyatakan oleh pendapat sebelumnya, beliau menjustifikasi bahwa menurut ijtihadnya mendahulukan wiladah atas bikarah mengandung maslahah yang lebih banyak. Disebutkan dalam kitab tuhfah al-muhtaj juz 7 halaman 190, beliau mengungkapkan:

وَلَوْ تَعَارَضَتْ تِلْكَ الصِّفَاتُ فَاَلَّذِي يَظْهَرُ أَنَّهُ يُقَدِّمُ الدِّينَ مُطْلَقًا ثُمَّ الْعَقْلَ وَحُسْنَ الْخُلُقِ ثُمَّ الْوِلَادَةَ ثُمَّ أَشْرَفِيَّةَ النَّسَبِ ثُمَّ الْبَكَارَةَ ثُمَّ الْجَمَالَ ثُمَّ مَا الْمَصْلَحَةُ

“Jika sifat-sifat (mathlubah) tersebut berbenturan, maka menurut pendapat yang dhohir adalah mendahulukan agama secara mutlak kemudian akal, akhlak yang baik kemudian wiladah, kemudian nasab yang mulia kemudian bakarah kemudian jamal kemudian apa yang maslahah” (Tuhfah al-Muhtaj 7/ 190)

Perbedaan ulama merupakan suatu keniscayaan yang tidak dapat dihindari dalam fikih, termasuk perbedaan ulama dalam mendahulukan antara wiladah dan bikarah. Imam Sulaiman al-Kurdi berpendapat bahwa ketika terjadi kontradiksi antara pendapat Ibn Hajar dan Imam al-Ramli, maka kita diperbolehkan untuk memilih salah satu dari dua pendapat tersebut karena pendapat dari keduanya sama-sama bersifat otoritatif, bukan justru berpaling dari keduanya. Maksud berpaling di sini adalah melakukan ijtihad secara independen yang menghasilkan sebuah pendapat yang berbeda dengan kedua pendapat sebelumnya. (Al-Fawaid al-Madaniyah/64-65)

 

*Penulis merupakan alumni Mahad Al-Jami’ah Al-Aly UIN Malang angkatan 3