Menghitung Masa Suci Setelah Darah Berhenti atau Setelah Mandi Besar?

Oleh : Rifqi Nazahah Noor*

Malang – Tanpa disadari, topik pembahasan fiqh nisa masih menjadi momok bagi para santri, lebih-lebih mengenai darah. Bahkan dari kalangan santriwati pun juga tak jarang ditemukan kebingungan-kebingungan mengenai penghitungan darah. Menjadi masalah tersendiri bagi seorang wanita jika belum memahami dengan bait mengenai darah, Sebagaimana yang diketahui bahwa darah yang keluar dari seorang wanita ada tiga, yakni darah haid, nifas dan wiladah. Sangat dilematis bagi seorang wanita untuk menghitung hari di mana darah keluar, terlebih jika darah yang keluar tidak normal. Oleh karena itu, wanita wajib memahami betul mengenai hitungan tersebut karena ini berdampak pada masalah ubudiyahnya. Dalam topik kali ini, penulis ingin membahas mengenai hitungan masa suci wanita setelah darah haid ataupun nifas keluar. Apakah masa suci terhitung dari waktu berhentinya darah atau setelah mandi besar baru dihitung?

Masa suci seseorang dihitung ketika darah berhenti, karena yang menjadi mani’ seorang wanita yang haid atau nifas untuk melakukan salat adalah keluarnya darah sehingga apabila mani’ telah hilang maka dia sudah berkewajiban melakukan salat. Misalnya saja, jam 10.00 (seumpama tanggal 1) pagi haidnya Maryam sudah berhenti kemudian dia menunda mandi sampai waktu dhuhur tiba, maka hitungan satu hari satu malam untuk menghitung masa suci dimulai dari jam 10, bukan dari waktu dhuhur setelah dia mandi, sehingga hitungan satu hari satu malamnya adalaj jam 10 pada tanggal 2 nya.

Adapun ketika seorang wanita bersuci dari haid atau nifas dan masih tersisa waktu untuk melakukan salat yang wajib dilakukan di waktu tersebut sekalipun hanya cukup untuk takbiratul ihram, maka ia berkewajiban untuk melakukan salat di waktu tersebut karena ia dianggap mendapati waktu salat tersebut. Selain itu, ia juga berkewajiban untuk melakukan salat fardhu sebelumnya jika salat sebelumnya dapat dijamak dengan salat diwajibkan baginya setelah suci tersebut karena dimungkinkannya melakukan salat jama’ ta’khir pada kedua salat tersebut. Akan tetapi, kewajiban tersebut berlaku jika memang ada waktu yang dianggap cukup untuk melakukan dua salat tersebut. Hal ini sebagaimana yang dijelaskan dalam kitab Hasyiyah Jamal ‘ala syarhil mihaj:

 (وَلَوْ زَالَتْ الْمَوَانِعُ) الْمَذْكُورَةُ أَيْ الْكُفْرُ الْأَصْلِيُّ وَالصِّبَا وَالْجُنُونُ وَالْإِغْمَاءُ وَالْحَيْضُ وَالنِّفَاسُ (وَ) قَدْ (بَقِيَ) مِنْ الْوَقْتِ (قَدْرُ) زَمَنِ (تَحَرُّمٍ) فَأَكْثَرَ (وَخَلَا) الشَّخْصُ (مِنْهَا قَدْرَ الطُّهْرِ وَالصَّلَاةِ لَزِمَتْ) أَيْ صَلَاةُ الْوَقْتِ لِإِدْرَاكِ جُزْءٍ مِنْ وَقْتِهَا كَمَا يَلْزَمُ الْمُسَافِرَ إتْمَامُهَا بِاقْتِدَائِهِ بِمُقِيمٍ فِي جُزْءٍ مِنْهَا (مَعَ فَرْضٍ قَبْلَهَا إنْ صَلَحَ لِجَمْعِهِ مَعَهَا وَخَلَا) الشَّخْصُ مِنْ الْمَوَانِعِ (قَدْرَهُ) أَيْضًا؛ لِأَنَّ وَقْتَهَا وَقْتٌ لَهُ حَالَةَ الْعُذْرِ فَحَالَةُ الضَّرُورَةِ أَوْلَى فَيَجِبُ الظُّهْرُ مَعَ الْعَصْرِ وَالْمَغْرِبُ مَعَ الْعِشَاءِ لَا الْعِشَاءُ مَعَ الصُّبْحِ وَلَا الصُّبْحُ مَعَ الظُّهْرِ وَلَا الْعَصْرُ مَعَ الْمَغْرِبِ لِانْتِفَاءِ صَلَاحِيَّةِ الْجَمْعِ هَذَا إنْ خَلَا مَعَ ذَلِكَ مِنْ الْمَوَانِعِ قَدْرَ الْمُؤَدَّاةِ، فَإِنْ خَلَا قَدْرَهَا وَقَدْرَ الطُّهْرِ فَقَطْ تَعَيَّنَتْ أَوْ مَعَ ذَلِكَ قَدْرَ مَا يَسَعُ الَّتِي قَبْلَهَا تَعَيَّنَتَا أَمَّا إذَا لَمْ يَبْقَ مِنْ وَقْتِهَا قَدْرُ تَحَرُّمٍ أَوْ لَمْ يَخْلُ الشَّخْصُ الْقَدْرَ الْمَذْكُورَ فَلَا تَلْزَمُ إنْ لَمْ تُجْمَعْ مَعَ مَا بَعْدَهَا وَإِلَّا لَزِمَتْ مَعَهَا فِي الشِّقِّ الْأَوَّلِ بِالشَّرْطِ السَّابِقِ وَالتَّقْيِيدُ بِالْخُلُوِّ الْمَذْكُورِ فِي الْمَوْضِعَيْنِ مِنْ زِيَادَتِي.

“Apabila penghalang untuk melakukan salat sebagaimana yang telah disebutkan, yakni kafir, anak kecil, gila, ayan, haid dan nifas telah hilang dan seseorang masih ada waktu untuk melaksanakan salat maka wajib salat walaupun waktu hanya cukup unuk melakukan takbiratul ihram karena dirinya mendapati sebagian dari waktu slat tersebut sebagaimana musafir yang harus menyempurnakan salatnya ketika sudah sampai di tempat muqimnya dan masih mendapati sebagian waktu salat. Juga wajib melakukan salat sebelumnya yang bisa dijamak dengan salat ketika ia suci, seperti halnya dhuhur dan ashar, isya dan mahrib bukan seperti subuh dan isya atau dhuhur dan subuh. Kewajiban ini berlaku apabila dimungknkan cukup untuk melakukan 2 salat sekalipun hanya takbiratul ihram, apabila tidak cukup maka tidak wajib.” (Hasyiyah Jamal ‘ala syarhil minhaj hlm 292/ juz 1)

Oleh karena itu, ketika seseorang telah suci maka harus diperhatikan dengan seksama waktunya karena ada beberapa salat yang harus diqadha jika memang sudah ada kewajiban salat namun tidak melakukannya. Lebih rincinya sebagai berikut:

  • Ketika suci di waktu dhuhur maka kewajiban salat setelah suci dimulai dari salat dhuhur itu sendiri
  • Ketika suci di waktu ashar maka kewajiban salat setelah suci dimulai dari salat asar dan harus menqadai salat dhuhur
  • Ketika suci di waktu maghrib maka kewajiban salat setelah suci dimulai dari salat maghrib itu sendiri
  • Ketika suci di waktu isya maka kewajiban salat setelah suci dimulai dari salat isya dan harus menqadai salat maghrib
  • Ketika suci di waktu subuh maka kewajiban salat setelah suci dimulai dari salat subuh itu sendiri

Demikian, semoga bermanfaat, wa allahu a’lam bis showab

 

*Alumni Ma’had Al-Jami’ah Al-Aly UIN Malang angkatan 3