Kontekstualisasi Turats di Era Modern

Oleh : Ust. Muhammad Fashihuddin

Di era milenial, era sains dan teknologi ilmu pengetahuan, diksi-diksi tersebut sering dipakai sebagai kata kolektif untuk menunjukkan bermacam-macam pengetahuan yang sistematik dan obyektif, serta dapat diteliti kebenarannya, sehingga muncul beberapa kasus yang membutuhkan jawaban yang rasional, faktual, dan tidak menyimpang dari GBHI (Garis-Garis Besar Haluan Islam), sementara formulasi hukum fiqh dalam kitab turats sangatlah kondisional, selaras dengan tempat dan waktunya.

Dengan bergesernya kondisi menjadi Era Milenial, Era sains dan teknologi, banyak kasus-kasus yang bersentuhan dengan kontektualisasi turats, karena membutuhkan jawaban yang cocok dengan syariat dengan tidak meninggalkan kitab turats yang sudah kita yakini kebenarannya.

Sementara formulasi kitab turats secara tekstual tidak memadai untuk memberi jawaban atas kasus-kasus yang memang betul-betul belum ada di saat formulasi kitab turats di rumuskan, baik kasus yang bersentuhan dengan bidang ubudiyah, muamalah, munakahah, dan jinayat. Dalam formulasi kitab turats, antara kitab satu dengan kitab lain tidak ada perbedaan yang signifikan selama masih satu mazhab, kalau ada hanya sebatas susunan kata saja.

Namun sebenarnya, kalau kita mampu mengkontektualisasikan formulasi kitab turats, maka akan kita ketahui dengan sebenarnya bahwa kitab turats masih efektif dan valid dalam keadaan apapun dan kondisi apapun, bahkan di era kini, karena sebenarnya rumusan formulasi kitab turats tidaklah kolot sebagaimana yang menjadi anggapan sebagian orang. Sebab rumusan dalam kitab turats dihasilkan dengan melalui penelitian secara detail, uji kelayakan (tahqiq al-manath) dan filterisasi dengan dalil-dalil secara detail dan konkrit (tanqih al-manath) serta ditetapkan hukumnya setelah dianggap valid (takhrij al-manath), sehingga rumusan tersebut sangat valid, solid, dan relevan.

Dengan perubahan waktu dan kondisi yang berbeda, rumusan hukum dapat berubah dengan tanpa harus merubah formulasi yang ada namun cukup memerlukan kajian secara detail, karena hukum tidaklah akan berubah-ubah dengan perkembangan zaman, melainkan gambaran yang dihukumi dangan illat yang mewarnai kasus tersebut telah berbeda dengan illat yang menjadi pijakan formulasi rumusan dalam kitab turats tersebut, sebagaimana yang telah disampaikan Imam al-Subki melalui teks berikut:

قَالَ السُّبْكِيُّ: لَيْسَ مُرَادُهُ أَنَّ الْأَحْكَامَ الشَّرْعِيَّةَ تَتَغَيَّرُ بِتَغَيُّرِ الزَّمَانِ، بَلْ بِاخْتِلَافِ الصُّوَرِ الْحَادِثَةِ، فَإِنَّهُ قَدْ يَحْصُلُ بِمَجْمُوعِ أُمُورٍ حُكْمٌ لَا يَحْصُلُ لِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهَا. فَإِذَا حَدَثَتْ صُورَةٌ عَلَى صِفَةٍ خَاصَّةٍ عَلَيْنَا أَنْ نَنْظُرَ فِيهَا، فَقَدْ يَكُونُ مَجْمُوعُهَا يَقْتَضِي الشَّرْعُ لَهُ حُكْمًا خَاصًّا.

“al-Subki berkata: Yang dikehendaki dengan perubahan hukum bukanlah berubah sebab adanya perubahan zaman, melainkan berubah sebab perbedaan konteks permasalahan yang baru. Oleh karenanya, bisa jadi dalam himpunan perkara yang ada, terdapat satu hukum yang tidak dapat diterapkan pada masing-masing perkara tersebut. Bilamana terjadi sebuah peristiwa khusus, maka kita wajib menelaahnya. Sangat memungkinkan syara’ menuntut adanya hukum tertentu (untuk menyikapi peristiwa khusus tersebut)”. (Jalaluddin al-Suyuthi, al-Hawi li al-Fatawa, [Beirut: Dar al-Fikr, 2004], Juz 1, Hal 392).

 

Cara Mengkontekstualisasikan Turats

Setidaknya ada tiga cara/pendekatan untuk menjadikan turats bermuara kontekstual dan relevan dijadikan sebagai rujukan, antara lain:

1) Pendekatan Illat

Pendakatan ini digunakan tatkala hendak menyingkap alasan (ratio legis) hukum fikih yang dirumuskan oleh para ulama di dalam kitab turats. Illat secara umum ditemukan melalui dalil. Sementara dalil ada dua macam: dalil naqli dan dalil aqli.

Sebagai contoh yang terdapat dalam kitab Fath al-Qarib al-Mujib berikut:

الشَّرْطُ الأَوَّلُ (طَهَارَةُ الأَعضَاءِ مِنَ الحَدَثِ) الأَصغَرِ وَالأَكبَرِ عِندَ القُدرَةِ. أَمَّا فَاقِدُ الطَّهُورَينِ فَصَلَاتُهُ صَحِيحَةٌ مَعَ وُجُوبِ الإِعَادَةِ عَلَيهِ (وَ) طَهَارَةُ (النَّجسِ) الَّذِي لَا يُعفَى عَنهُ فِي ثَوبٍ وَبَدَنٍ وَمَكَانٍ. وَسَيَذكُرُ المُصَنِّفُ هَذَا الأَخِيرَ قَرِيبًا. (وَ) الثَّانِي (سَترُ) لَونِ (العَورَةِ) عِندَ القُدرَةِ، وَلَو كَانَ الشَّخصُ خَالِيًا أَو فِي ظُلمَةٍ. فَإِن عَجَزَ عَن سَترِهَا صَلَّى عَارِيًا، وَلَا يُومِئُ بِالرُّكُوعِ وَالسُّجُودِ، بَل يُتِمُّهُمَا، وَلَا إِعَادَةَ عَلَيهِ

“Syarat pertama: menyucikan tubuh dari hadas kecil dan hadas besar bagi yang mampu. Adapun orang yang tidak menemukan dua alat bersuci (air dan debu), maka salatnya dihukumi sah, namun wajib mengulang. Begitu pula bersuci dari najis yang tidak dapat ditoleransi hukumnya ketika menempel pada pakaian, badan, dan tempat salat. Pengarang akan menyebutkannya pada akhir bab. Syarat kedua: menutup warna fisik aurat bagi yang mampu. Seandainya seseorang berada di tempat yang sepi atau dalam kegelapan, jika tidak mampu untuk menutup auratnya, maka ia salat dalam kondisi telanjang. Tidak diperkenankan baginya untuk berisyarat pada ruku’ dan sujudnya, namun wajib menyempurnakannya. Hanya saja, ia tidak perlu mengulang salatnya”. (Muhammad bin Qasim al-Ghazi, Fath al-Qarib al-Mujib, [Beirut: Dar Ibn Hazm, 2005], Hal 73).

Dalam ibarat di atas, disebutkan bahwa orang yang tidak mendapatkan alat bersuci (air dan debu) diharuskan salat dengan kewajiban mengulang (i’adah) baginya. Sedangkan orang yang tidak mendapat penutup aurat diwajibkan baginya shalat dengan tidak wajib mengulang.

Setelah dikaji lebih lanjut, kasus tidak menemukan air dan debu merupakan kasus yang langka, maka dianggap seperti tidak ada uzur sehingga wajib mengulang (i’adah), sedangkan kasus tidak menemukan penutup aurat merupakan hal yang sudah biasa (banyak terjadi), maka tidak wajib mengulang salatnya, karena termasuk uzur yang mu’tabar. Sejalan dengan gesernya waktu dan kondisi, apakah tidak menemukan pakaian di zaman sekarang perlu di-tafshil antara di tempat pemukiman dengan di hutan?

 

2) Pendekatan Konseptual

Pendekatan ini digunakan tatkala hendak memahami konsep dan rumusan fikih dalam kitab turats. Caranya, yakni dengan membaca dan memahami satu qadliyah (kasus) tertentu, kemudian diruntut mulai dari kitab matan, syarah, hingga hasyiyahnya. Di mana endingnya adalah menemukan rumusan fikih antara lain: taswahur masalah, hukum, dalil yang digunakan, dan rasionalisasinya (illat).

Sebagai contoh adalah persoalan menggusur tanah rakyat oleh pemerintah untuk kepentingan umum yang tidak ditemukan ibaratnya di dalam kitab turats, namun dapat dianalogikan dengan persoalan penggusuran tanah untuk perluasan masjid yang sama-sama untuk kepentingan umum.

[مَسْأَلَةٌ] إِذَا ضَاقَ الْمَسْجِدُ بِأَهْلِهِ وَاحْتَاجَ إِلَى تَوْسِعَتِهِ، وَبِجَانِبِهِ عَقَارُ وَقْفٍ أَوْ مِلْكٍ، فَإِنَّهُ يَجُوزُ بَيْعُ الْحَبْسِ لِتَوْسِعَةِ الْمَسْجِدِ، وَإِنْ أَبَى صَاحِبُ الْحَبْسِ أَوِ الْمِلْكِ مِنْ بَيْعِ ذَلِكَ فَالْمَشْهُورُ الْجَبْرُ عَلَى الْبَيْعِ، وَيَشْتَرِي بِثَمَنِ الْحَبْسِ حَبْسًا كَالْأَوَّلِ، وَمِثْلُ تَوْسِعَةِ الْمَسْجِدِ تَوْسِعَةُ طَرِيقِ الْمُسْلِمِينَ وَمَقْبَرَتِهِمْ

“Masalah: bilamana terdapat masjid yang sempit dan membutuhkan perluasan, sedangkan di sampingnya terdapat pekarangan wakaf atau hak milik, maka diperbolehkan menjual pekarangan tersebut untuk digunakan perluasan masjid. Jika pemiliknya enggan untuk menjualnya, maka menurut kaul masyhur wajib dipaksa untuk dijual dan dapat dibeli berdasarkan harga pada saat wakaf/milik semula. Perumpaan kasus perluasan masjid adalah perluasan jalan untuk umat muslim dan pemakaman mereka”. (Husain bin Ibrahim al-Maghribi, Qurrat al-‘Ain bi Fatawa Ulama al-Haramain, [Mesir: al-Maktabah al-Tijariyyah al-Kubra, 1937], Hal 259).

 

3) Pendekatan Metodologis

Pendekatan ini digunakan untuk memahami manhaj yang digunakan oleh fukaha dalam merumuskan hukum fikih di dalam kitab karyanya. Hanya saja, pendekatan ini ditujukan untuk aspek metodologis mazhab. Atau cenderung merujuk pada referensi ushul fiqh maupun qawaid fiqh.

Sebagai contoh adalah persoalan shalat di pesawat yang tidak tercantum hukumnya di dalam kitab turats, sebab media pesawat terbang pada zaman dahulu belum ditemukan, namun baru ditemukan abad belakangan ini. Sehingga para ulama fikih belum merumuskan hukumnya. Oleh karenanya, dapat menggunakan metode manhaji sebagaimana cara berpikir dan beristidlal fukaha. Namun, yang perlu digaris bawahi dalam aplikasi pendekatan ini ialah orang yang beristidlal haruslah benar-benar tabahhur dalam ilmu fikih dan ushulnya serta memahami nash al-Qur’an dan hadis dengan baik.

 

Perangkat yang Digunakan dalam Kontekstualisasi Turats

Untuk memahami turats dengan baik, diperlukan beberapa piranti sebagai alat untuk memahami dan mengetahui maksud dari rumusan fikih dengan baik. Piranti (wasilah) tersebut antara lain:

  • Ushul Fiqh
  • Qawaid Fiqhiyyah
  • Manthiq
  • Ushul dan Furu’
  • Hakikat Manusia dan Kehidupan (Maqashid)

Ikhtiar dalam rangka mengembangkan pemahaman turats ini diinisiasikan oleh para kyai dengan ijtihad aplikatif. Sebagaimana dinyatakan oleh KH. Azizi Hasbullah bahwasanya untuk memahami formulasi kitab turats sebagai sebuah rumusan dalam menjawab problematika umat di era kekinian, perlu adanya ijtihad aplikatif sebagai wujud dan upaya kontekstualisasi turats. Caranya dengan memenuhi beberapa tahap berikut:

Pertama, mengedepankan sumber primer (primary source) dalam sistem bermazhab atau menentukan rujukan, misalnya dalam mazhab syafii, agar lebih intensif, serius, dan kritis terhadap karya Imam Syafii sendiri, kemudian karya-karya murid terdekatnya yang dianggap lebih memahami terhadap pendapat Imam Syafii. kemudian menurun pada karya  beberapa Ulama besar secara langsung, seperti Imam al-Ghazali, al-Mawardi, Imam al-Haramain al-Juwaini, dan lainnya.

Kedua, mengkaji hasil rumusan ulama mujtahid tidak lagi secara doktriner dan dogmatis namun dengan critical study sebagai sejarah pemikiran (intelektual history atau history of idias), artinya kita mengkaji sejarah pemikiran ulama sekaligus latar belakang mengapa ulama tersebut berpendapat seperti itu, cara dan metodologi serta proses pemikiran mereka itulah yang justru lebih banyak dikaji dan diikuti alur prosesnya, bukan semata-mata produk matangnya. Jika hukum tersebut terjadi perbedaan di antara ulama, maka kita kaji penyebab perbedaan pendapat tersebut dan proses pemikiran mereka.

Ketiga, interpretasi teks-teks fikih secara konstektual, merubah pola fikir dari qauly (tekstual) ke manhajy (metodologi), verifikasi mendasar mana ajaran yang pokok (ushul) dan yang cabang (furu’) mana ajaran yang qath’iy dan ajaran yang dzanni, mana ajaran yang bersifat teknisi dan ajaran yang formalis (mengikuti bentuk-bentuk yang telah ditetapkan)  dan  dogmatif, baik yang murni (taabbudi mahdhah) atau yang semi (taabbudi ghairu mahdhah).

Keempat, memahami garis-garis besar ajaran agama baik secara esensial (haqiqat), substansial (isi pokok yang ditunjukkan dalam ajaran tersebut), atau maqashid al-syari’ah, dan formalisme (mengikuti bentuk-bentuk yang telah ditetapkan) atau mengikuti ketentuan bentuk yang berlaku.

Catatan: Langkah-langkah tersebut dapat terealisasi dengan beberapa langkah, diantaranya:

  • Memahami kitab turats dengan komprehensif dan menguasai kaidah-kaidah ushul fiqh dan kaidah-kaidah fiqh.
  • Mempunyai daya tanggap (responsif) terhadap masalah-masalah yang muncul, dimana umat Islam ingin cepat mendapatkan jawaban agama. Jadi tidak membiarkan terlalu lama umat menunggu dengan mengetahui pokok permasalahan yang akan di jawab.
  • Mengetahui sosial kultur budaya yang berlaku di masarakat, serta mengetahui disiplin ilmu pengetahuan lain, seperti kedokteran, ekonami, biologi, dan lain-lain.
  • Menjaga akidah dan amaliah (tauhid dan tasawuf), karena menemukan jawaban tidak hanya dapat dihasilkan dengan adanya akal cerdas, tapi lebih dominan dengan mukasyafah, dan daya serap (dzauq).

One comment

Comments are closed.