Khilaf Terkait Keberadaan Wali Nikah?

Oleh : Lukluk Alawiyatush Sholihah, Sisca Maya Amalia dan Halimatus Sa’diyah Salya

Malang – Wali memiliki peran yang sangat penting dalam proses pernikahan. Peran wali tidak hanya menjadi formalitas, akan tetapi juga memiliki konsekuensi hukum dan syariat. Namun setidaknya ada dua pendapat dalam hal seorang wanita haruskah menikah dengan izin dan didampingi wali? Madzhab Syafi’i mengatakan bahwa secara mutlak izin wali dibutuhkan oleh setiap wanita perawan yang hendak menikah dan kehadiran wali menjadi salah satu syarat sah pernikahan, namun berbeda dengan pendapat Madzhab Hanafi yang mengatakan bahwa izin wali hanya dibutuhkan oleh pernikahan anak kecil, orang gila dan budak dan wanita dewasa boleh menikah tanpa kehadiran wali sebab wanita dewasa dianggap berhak untuk melakukan tindakan akad oleh dirinya sendiri. Dalam al-Fiqh ‘ala Madzahib al-Arba’ah dijelaskan bahwa Imam Syafi’i dan mayoritas ulama’ lain berpijak pada sebuah hadits riwayat Zuhri dari Aisyah

وقد استدل الجمهور بأحاديث وبآيات قرآنية، فأما الأحاديث فمنها ما رواه الزهري عن عائشة وهو أن النبي ﷺ قال : أيما امرأة نكحت بغير إذن وليها فنكاحها باطل.

Dikatakan oleh Rasulullah SAW bahwa wanita mana saja yang menikah tanpa izin walinya, maka pernikahannya tidak sah. (al-Fiqh ‘ala Madzahib al-Arba’ah 4/46)

sedangkan Hanafi menolak untuk menggunakan hadits riwayat Zuhri sebagai dalil dengan argumentasi bahwa Zuhri merupakan perowi yang ketika ditanya ia tidak tahu menahu tentang hadits tersebut dan berpengaruh terhadap status hadits yang pada akhirnya dianggap dho’if, hal ini sebenarnya tidak berpengaruh selama perawi diatas Zuhri yakni Sulaiman bin Musa menyandang status tsiqah dan setelah dilakukan penelusuran melalui website https://hadith.islam-db.com/ tidak ditemukan kecacatan pada Zuhri sebagai perowi yang artinya hadits tersebut termasuk hadits yang shohih yang dapat dijadikan hujjah. Argumen tersebut tertera dalam al-Fiqh ‘ala Madzahib al-Arba’ah 4/46

وهذان الحديثان أقوى ما استدل به الجمهور على ضرورة الولي، فليس للمرأة حق مباشرة العقد دونه ، وقد أجاب الحنفية عن الحديث الأول بأنه مطعون فيه ، وذلك لأن الزهري نفسه قد سئل عنه فلم يعرفه، وقد أجيب عن هذا بأن معرفة الزهري لا تضر ما دام راويه ـ وهو سليمان بن موسى – ثقة

Menikah harus dengan izin wali bukan berarti boleh menikah tanpa wali, artinya harus ada wali mempelai wanita pada saat proses akad nikah berlangsung baik wali bertindak sebagai orang yang mengakadkan atau diwakilkan kepada orang lain. Seorang wanita tidak dapat menikahkan orang lain atau menikahkan dirinya sendiri sebagaimana hadits riwayat Ibnu Majah dan Ad-Daruquthni dari Abu Hurairah;

ومنها ما رواه ابن ماجة، والدارقطني عن أبي هريرة أن النبي ﷺ قال : لا تزوج المرأة المرأة، ولا تزوج المرأة نفسها .

Dikatakan pula oleh Rasulullah SAW bahwa seorang wanita tidak boleh menikahkan wanita lain juga menikahkan dirinya sendiri. (al-Fiqh ‘ala Madzahib al-Arba’ah 4/46)

Syafi’iyah berpegang pada pemaknaan hadits bahwa لا dalam hadits tersebut memiliki arti nahi (larangan) yang berarti wanita dilarang untuk menikahkan dirinya sendiri dan orang lain juga memiliki arti nafi (meniadakan) yang berarti akad nikah yang dilakukan seorang perempuan terhadap wanita lain atau dirinya sendiri itu tidak sah.

وأما دلالة الحديث الثالث : لا تزوج المرأة المرأة …. فلأنه نفى تزويج المرأة غيرها ونَفْسَها ، وذلك يفيد النهي ، والنهي يدل على البطلان ، فيكون الولي شرطاً لصحة النكاح .

(I’lamul Anam Syarah Bulughul Maram 4/301)

Sedangkan Hanafiyah memberi pemahaman terhadap hadits ini bahwa wanita dewasa tidak boleh menikahkan anak kecil wanita jika ada wali ashabah yang lebih didahulukan. Atau wanita yang masih kecil tidak boleh menikahkan wanita yang masih kecil pula dan wanita yang masih kecil tidak boleh menikahkan dirinya sendiri tanpa wali. Dengan demikian, yang dimaksud dengan wanita dalam hadits tersebut adalah perempuan yang masih kecil dengan alasan wanita dewasa berhak untuk melakukan sendiri tindakan akad seperti jual beli.

فقوله : «لا تزوج المرأة المرأة معناه لا تزوج المرأة الكبيرة البنت الصغيرة عند وجود الولي للعصبة المقدم عليها، أو لا تزوج المرأة الصغيرة المرأة الصغيرة، وقوله : «ولا تزوج المرأة نفسها معناه ولا تزوج الصغيرة نفسها بدون ولي، فالمراد من المرأة الأنثى الصغيرة، وهي وإن كانت عامة تشتمل الصغيرة والكبيرة إلا أنها خصت بالصغيرة لما هو معلوم من أن الكبيرة لها حق التصرف في العقود كالبيع، فيقاس النكاح على البيع، وذلك جائز في الأصول.

(al-Fiqh ‘ala Madzahib al-Arba’ah 4/46)

Madzhab Hanafi memilih menggunakan dalil  QS. Al-Baqarah 234 dan Al-Baqarah 230 yang keduanya menjelaskan bahwa perempuanlah yang mengerjakan urusannya bukan walinya dan dapat diambil kesimpulan bahwa perempuan boleh menikahkan dirinya sendiri tanpa harus diwakili oleh walinya, hal ini tertera dalam Tabyin al-Haqaiq Syarah Kanzu Daqaiq wa Hasyiyah al-Syibli 2/ 117

وَلَنَا قَوْله تَعَالَى {فَلا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا فَعَلْنَ فِي أَنْفُسِهِنَّ} [البقرة: ٢٣٤] وقَوْله تَعَالَى {فَلا تَعْضُلُوهُنَّ أَنْ يَنْكِحْنَ أَزْوَاجَهُنَّ} [البقرة: ٢٣٢] وقَوْله تَعَالَى {حَتَّى تَنْكِحَ زَوْجًا غَيْرَهُ} [البقرة: (۲۳) وقَوْله تَعَالَى {فَلا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا أَنْ يَتَرَاجَعَا إِنْ ظَنَّا أَنْ يُقِيمَا حُدُودَ اللَّهِ} [البقرة: ٢٣٠] وَهَذِهِ الْآيَاتُ تُصَرِّحُ بِأَنَّ النّكَاحَ يَنْعَقِدُ بِعِبَارَةِ النِّسَاءِ؛ لِأَنَّ النِّكَاحَ الْمَذْكُورَ فِيهَا مَنْسُوبٌ إِلَى الْمَرْأَةِ مِنْ قَوْلِهِ أَنْ يَنْكِحْنَ وَحَتَّى تَنْكِحَ، وَهَذَا صَرِيحٌ بِأَنَّ النِّكَاحَ صَادِرٌ مِنْهَا ، وَكَذَا قَوْله تَعَالَى { فِيمَا فَعَلْنَ} [البقرة: ٢٣٤] وَ { أَنْ يَتَرَاجَعَا} [البقرة: ٢٣٠] صَرِيحٌ بِأَنَّهَا هِيَ الَّتِي تَفْعَلُ وَهِيَ الَّتِي تَرْجِعُ، وَمَنْ قَالَ لَا يَنْعَقِدُ بِعِبَارَةِ النِّسَاءِ فَقَدْ رَدَّ نَصَّ الْكِتَابِ

Madzhab Hanafi juga berpegang pada hadits riwayat Muslim الْأَيِّمُ أَحَقُّ بِنَفْسِهَا مِنْ وَلِيّهَا, kata al-ayyim dimaknai dengan perempuan yang belum menikah baik masih perawan atau tidak sebagaimana tertera dalam al-Bahru al-Raiq Syarah Kanzu Daqaiq 3/117

وَمِنْ السُّنَّةِ حَدِيثُ مُسْلِمٍ الْأَيِّمُ أَحَقُّ بِنَفْسِهَا مِنْ وَلِيّهَا وَهِيَ مَنْ لَا زَوْجَ لَهَا بِكْرًا كَانَتْ أَوْ ثَيْبًا ، فَأَفَادَ أَنَّ فِيهِ حَقَّيْنِ حَقَّهُ وَهُوَ مُبَاشَرَتُهُ عَقْدَ النِّكَاحِ بِرِضَاهَا، وَقَدْ جَعَلَهَا أَحَقَّ مِنْهُ وَلَنْ تَكُونَ أَحَقَّ إِلَّا إِذَا زَوَّجَتْ نَفْسَهَا بِغَيْرِ رِضَاهُ وَأَمَّا مَا رَوَاهُ التَّرْمِذِيُّ وَحَسَّنَهُ «أَيُّمَا امْرَأَةِ نَكَحَتْ بِغَيْرِ إِذْنِ وَلِيْهَا فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ » . وَمَا رَوَاهُ أَبُو دَاوُد لَا نِكَاحَ إِلَّا بِوَلِيَّ» فَضَعِيفَانِ أَوْ مُخْتَلَفُ فِي صِحَّتِهِمَا فَلَنْ يُعَارِضًا الْمُتَّفَقَ عَلَى صِحَّتِهِ أَوْ الْأَوَّلُ مَحْمُولُ عَلَى الْأَمَةِ وَالصَّغِيرَةِ وَالْمَعْتُوهَةِ أَوْ عَلَى غَيْرِ الْكُفْءِ

Dalam al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu 7/82 tertera keterangan demikian

الشرط العاشر – الولي

هو شرط عند الجمهور غير الحنفية ، فلا يصح الزواج إلا بولي ، لقوله تعالى : فلا تعضلوهن أن ينكحن أزواجهن ) قال الشافعي : هي أصرح آية في اعتبار الولي، وإلا لما كان العضله معنى . ولقوله : « لا نكاح إلا بولي » (۳) وهو لنفي الحقيقة الشرعية، بدليل حديث عائشة : «أيما امرأة نكحت بغير إذن وليها ، فنكاحها باطل ، باطل ، باطل ، فإن دخل بها فلها المهر بما استحل من فرجها ، فإن اشتجروا فالسلطان ولي من لا ولي له

Memandang keterangan di atas dan diaplikasikan dalam konteks Indonesia rasanya mengikuti pendapat Syafi’iyah lebih tepat sebab pendapatnya diikuti oleh mayoritas ulama’, dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 juga mensyaratkan perkawinan menggunakan wali nikah. Sesuai dengan pasal 6 ayat 2: ”Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun harus mendapat izin kedua orang tua”. Selain itu dalam pasal 26 ayat (1) dinyatakan: “Perkawinan yang dilangsungkan di muka Pegawai Pencatat Nikah yang tidak berwenang, wali nikah yang tidak sah, atau yang dilangsungkan tanpa dihadiri oleh 2 (dua) orang saksi dapat dimintakan pembatalannya oleh para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dari suami, isteri jaksa, dan suami atau isteri”.