Kepemimpinan Perempuan Sebagai Pejabat Publik

Oleh : Lukluk Alawiyatush Sholihah*

Pandangan kaum adam masih ajeg dengan paradigma bahwa perempuan masih lemah, sehingga selalu dipandang sebelah mata. Sampai-sampai beredar stigma bahwa mereka tidak berhak berpendidikan tinggi, mereka sepantasnya hanya bertugas di belakang layar dan melayani laki-laki, dan puncaknya muncul statement ‘buat apa perempuan sekolah tinggi-tinggi kalau ujung-ujungnya juga masak di dapur’.

Namun seiring berjalannya waktu, perempuan zaman sekarang cenderung ingin merobohkan statement dan asumsi masyarakat bahwa perempuan hanya layak di dapur. Mereka membantah asumsi tersebut bahwa perempuan juga memiliki kesempatan untuk berkiprah dan berperan seperti halnya laki-laki untuk meraih tujuan dan cita-cita mereka, sebagai pejabat publik misalnya. Tak jarang perempuan zaman sekarang yang memiliki jiwa pemimpin. Bahkan dalam beberapa dekade terakhir, peran perempuan dalam kepemimpinan khususnya sebagai pejabat publik mengalami perkembangan yang signifikan. Semakin banyak perempuan yang menduduki posisi strategis dalam pemerintahan dan memegang jabatan penting. Namun hal ini menimbulkan kontroversi di kalangan ulama’ muslim mengenai diperbolehkan atau tidaknya perempuan menjadi pemimpin, sedangkan redaksi al-Qur’an surah An-Nisa’ ayat 34 telah jelas mengatakan bahwa laki-laki adalah pemimpin bagi perempuan. Secara rinci akan dibahas dalam tulisan ini.

PEMBAHASAN

Perbedaan pendapat mengenai kepemimpinan wanita perspektif Islam telah banyak terjadi. Mayoritas ulama’ mulai klasik hingga kontemporer melarang perempuan menjadi pemimpin, terlebih sebagai pejabat publik, padahal fakta sejarah menyatakan bahwa banyak wanita yang menjadi pemimpin baik di dalam maupun di luar negeri. Dalam hal ini setidaknya ada tiga macam pendapat ulama’

  1. Salah satu ulama’ klasik yang memperbolehkan wanita menjadi pemimpin adalah Ibnu Jarir Ath-Thabari, ia menyatakan bahwa perempuan boleh memangku kekuasaan sebagai pemimpin, menjadi hakim bahkan ia boleh menjadi wali dalam hal urusan apapun. Ath-Thabari menghukumi demikian dengan landasan hukum bahwa ketika perempuan diperbolehkan menjadi saksi maka ia juga diperbolehkan untuk menjadi pemimpin.[1]
  2. Memperbolehkan wanita untuk menjadi hakim dalam masalah harta saja dengan dalil wanita diperbolehkan untuk menjadi saksi sebagaimana dalam QS. Al-Baqarah (2:282).[2]
  3. Tidak diperbolehkan. Pendapat ini merupakan pendapat yang dipegang oleh jumhur ulama’ baik ulama’ salaf maupun khalaf.[3] Mereka berdalil pada QS. An-Nisa’ (4:34);

الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ

Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka.

Konteks ayat ini mengatakan bahwa Allah SWT memberikan tugas kepemimpinan kepada lelaki, Allah tidak mungkin mengkhususkan kepemimpinan laki-laki di atas wanita hanya dalam urusan pernikahan saja melainkan dalam hal politik pula. Idealnya, wanita di dalam urusan keluarga saja memiliki kedudukan di bawah lelaki apalagi lebih dari itu dalam hal pemerintahan dan politik kenegaraan misalnya.

Dalil yang digunakan pula oleh jumhur adalah hadits Nabi SAW

حَدَّثَنَا عُثْمَانُ بْنُ الْهَيْثَمِ ، حَدَّثَنَا عَوْفٌ ، عَنْ الْحَسَنِ ، عَنْ أَبِي بَكْرَةَ ، قَالَ : لَقَدْ نَفَعَنِي اللَّهُ بِكَلِمَةٍ سَمِعْتُهَا مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيَّامَ الْجَمَلِ بَعْدَ مَا كِدْتُ أَنْ أَلْحَقَ بِأَصْحَابِ الْجَمَلِ فَأُقَاتِلَ مَعَهُمْ، قَالَ : لَمَّا بَلَغَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّ أَهْلَ فَارِسَ قَدْ مَلَّكُوا عَلَيْهِمْ بِنْتَ كِسْرَى ، قَالَ : ” لَنْ يُفْلِحَ قَوْمٌ وَلَّوْا أَمْرَهُمُ امْرَأَةً “

Hukum syara’ yang terdapat pada hadits tersebut disandarkan kepada wanita. Illat hukum yang terdapat pada hadits adalah wanita dilarang menjadi pemimpin sebab sifat ‘kewanitaan’ nya. Dalam ilmu Ushul, illat yang berada dalam hadits tersebut bersifat tetap bukan sewaktu-waktu, artinya perempuan karena ia perempuan tidak dapat memikul beban pemerintahan mengingat tugas-tugas sosial wanita itu sangat banyak seperti menjadi ibu, melayani suami dan lain-lain dimana hal tersebut tidak mudah untuk disepelekan.[4]

Berikut beberapa pertimbangan yang disampaikan para ulama’ mengenai alasan mengapa wanita dilarang menjadi pemimpin

  1. sebab wanita tidak sabar, bertindak pelan-pelan, labil dan jarang mengkaji penyebab-penyebab masalah.
  2. Sebab wanita memiliki masa dimana ia akan haid, hamil, melahirkan, nifas, menyusui dan mengasuh anak.
  3. Sebab urusan pemerintahan pasti menuntut adanya ikhtilat, khalwah dan berjabat dengan lawan jenis seperti rapat tertutup misalnya.[5]

Ulama’ kontemporer membantah hukum larangan perempuan menjadi pemimpin dengan melihat historisitas hadits tersebut. Hadits tersebut merupakan respon atas dilantiknya seorang putri Kisra Persia yang dianggap oleh Nabi Muhammad SAW tidak memiliki kemampuan untuk memimpin pemerintahan. Penolakan Nabi SAW tersebut didasarkan sebab putri Kisra tersebut bukanlah orang yang mumpuni dan cakap dalam memimpin sebuah pemerintahan, bukan karena ia adalah seorang perempuan. Jikalau yang memimpin bukan putri Kisra bisa jadi Nabi SAW tidak bersabda demikian yang artinya, hadits ini bersifat khusus bukan bersifat umum. Tolak ukur menjadi pemimpin dalam urusan politik dan pemerintahan bukan jenis kelamin melainkan kompetensi dan kecakapan mereka, berbeda lagi dalam kasus imam shalat, keluarga dan perwalian.[6]

Dalam hal shalat ulama’ berbeda pendapat mengenai apakah perempuan diperbolehkan menjadi imam shalat. Jumhur mengatakan bahwa perempuan tidak diperbolehkan menjadi imam jika makmumnya laki-laki. Imam Syafi’i mengatakan bahwa jika makmumnya perempuan pula maka perempuan boleh menjadi imam, namun Imam Malik melarangnya. Pendapat ekstrim diungkapkan oleh Abu Tsaur dan Ath-Thabari bahwa perempuan boleh menjadi imam secara mutlak baik laki-laki maupun perempuan.[7]

KESIMPULAN

Ulama’ ramai memperbincangkan mengenai apakah perempuan boleh menjadi pemimpin, dengan mayoritas ulama cenderung melarangnya berdasarkan dalil Al-Qur’an. Larangan tersebut didasarkan pada pertimbangan sifat ‘kewanitaan’ yang dianggap tidak cocok untuk kepemimpinan, serta faktor-faktor biologis seperti masa haid, hamil, melahirkan, dan menyusui. Meskipun terdapat beberapa ulama yang memperbolehkan perempuan menjadi pemimpin dengan batasan tertentu, namun mayoritas tetap melarangnya.


[1] (تحفة الأحوذي جزء ٦ ص ٤٨)

(لَنْ يُفْلِحَ قَوْمٌ وَلَّوْا أَمْرَهُمْ اِمْرَأَةً ) قَالَ الْخَطَّابِيُّ فِي الْحَدِيثِ : إِنَّ الْمَرْأَةَ لَا تَلِي الْإِمَارَةَ وَلَا الْقَضَاءَ وَفِيهِ إِنَّهَا لَا تُزَوِّجُ نَفْسَهَا وَلَا تَلِي الْعَقْدَ عَلَى غَيْرِهَا كَذَا قَالَ وَهُوَ مُتَعَقَّبٌ وَالْمَنْعُ مِنْ أَنْ تَلِيَ الْإِمَارَةَ وَالْقَضَاءَ قَوْلُ الْجُمْهُورِ وَأَجَازَهُ الطَّبَرِيُّ وَهِيَ رِوَايَةٌ عَنْ مَالِكٍ وَعَنْ أَبِي حَنِيفَةَ عَمَّا تَلِي الْحُكْمَ فِيمَا تَجُوزُ فِيهِ شَهَادَةُ النِّسَاءِ.

(كتاب احكام انفرد بها النساء عن الرجال جزء ٨ ص ٤)

نقول: اختلف العلماء في مسألة تولي المرأة القضاء، ومن باب أولى مسألة الخلافة والإمارة على ثلاثة أقوال: القول الأول: قول ابن جرير الطبري، وقوله أضعف الأقوال. قال ابن جرير: يجوز للمرأة أن تكون خليفة أو أميرة للمؤمنين أو قاضية، وكل شيء تتولاه المرأة يصح لها أن تفعل ذلك، وهذا القول قال فيه ابن العربي: قد شذ ابن جرير، أو قال: أربأُ به أن يشذ عن العلماء، فما من أحد وافقه في مثل هذا القول، فقد قال: يجوز لها أن تتولى القضاء في الدماء وفي الأموال وفي كل شيء. ولقد بحثت كثيراً عن أدلة له فلم أجد دليلاً، لكن يمكن أن يستدل له بدليل الأحناف: وهو أن الله أباح للمرأة أن تكون شاهدة، فإذا أباح لها الولاية على الشهادة فقد أباح لها الولاية على القضاء وغير القضاء، ويمكن أن يستدل بعموم قوله صلى الله عليه وسلم: (النساء شقائق الرجال)وَفي الأحكام إن تولى رجل القضاء، فالمرأة تستطيع أن تتولى القضاء، وهذا أضعف الأقوال.

[2] (كتاب احكام انفرد بها النساء عن الرجال جزء ٨ ص٥)

القول الثاني: قول الأحناف وهو أقوى من الأول بيسير، قالوا: يجوز للمرأة أن تتولى القضاء في الأموال فقط، فلو أن رجلاً سرق رجلاً مالاً، أو بخس حق رجل، أو تنازع الناس في التجارة في البيع والشراء، فللمرأة أن تفصل فيه .وأدلة الأحناف قالوا: قد أباح الله جل في علاه شهادة المرأة في الأموال، قال عز وجل: ((وَاسْتَشْهِدُوا شَهِيدَيْنِ مِنْ رِجَالِكُمْ فَإِنْ لَمْ يَكُونَا رَجُلَيْنِ فَرَجُلٌ وَامْرَأَتَانِ)) [البقرة:٢٨٢].

[3] (شرح السنة للبغوي جزء ۱۰ ص ٧٧)

قَالَ الإِمَامُ: اتَّفَقُوا عَلَى أنَّ الْمَرْأَةَ لَا تَصْلُحُ أَنْ تَكُونَ إِمَامًا وَلا قَاضِيًا، لأَنَّ الإِمَامَ يَحْتَاجُ إِلَى الْخُرُوجِ لإِقَامَةِ أَمْرِ الْجِهَادِ، وَالْقِيَامِ بِأُمُورِ الْمُسْلِمِينَ، وَالْقَاضِي يَحْتَاجُ إِلَى الْبُرُوزِ لِفَصْلِ الْخُصُومَاتِ، وَالْمَرْأَةُ عَوْرَةٌ لَا تَصْلُحُ لِلْبُرُوزِ، وَتَعْجَزُ لِضَعْفِهَا عِنْدَ الْقِيَامِ بِأَكْثَرِ الأُمُورِ، وَلأَنَّ الْمَرْأَةَ نَاقِصَةٌ، وَالإِمَامَةُ وَالْقَضَاءُ مِنْ كَمَالِ الْوِلايَاتِ، فَلا يَصْلُحُ لَهَا إِلا الْكَامِلُ مِنَ الرِّجَالِ، وَلا يَصْلُحُ لَهَا الأَعْمَى، لأَنَّهُ لَا يُمْكِنُهُ التَّمْيِيزَ بَيْنَ الْخُصُوم.

(كتاب احكام انفرد بها النساء عن الرجال جزء ٨ ص٦ )

القول الثالث: وهو أقوى الأقوال، وهو الذي عليه جماهير أهل العلم من الخلف والسلف: لا يجوز للمرأة بحال من الأحوال أن تتولى القضاء لا في الأموال، ولا في غير الأموال، ولا أن تكون أميرة على الرجال والأدلة على ذلك بالأثر والنظر، أما بالأثر فمن الكتاب، قال الله تعالى: {الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ} [النساء:٣٤]، والعلمانيون ينادون ويقولون: النساء قوامون على الرجال، فهل نصدق الله في عليائه أم نصدق هؤلاء؟ إنما نصدق الله سبحانه، فهو عز وجل من قدم الرجال على النساء، قال تعالى: {الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ} [النساء:٣٤]، ولم يقل: النساء قوامون على الرجال.

[4] (المراة و الحقوق السياسة في الإسلام ص ٥٣۰)

والدليل على اشتراط هذا الشرط في متقلدي الوظائف السياسية في الدولة الإسلامية ما يلي: ا – إن الله تعالى اختص الرجال بالقوامة على النساء في قوله : ( الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ ) ، فلا يعقل أن يخص الله تعالى تلك القوامة بالحياة الزوجية دون الحياة السياسية العامة ، فدل نص الآية على اختصاص الرجال بهما معا بجامع القوامة في كل منهما.

(المراة و الحقوق السياسة في الإسلام ص ٥٣۱)

وجه الاستدلال من الحديث الشريف : أن الحكم الشرعي في الحديث : « لن يفلح قوم … ، مسند إلى ( المرأة ) ، وبعد السبر والتقسيم وجدنا أن (العلة ) في هذا الإسناد منحصرة في ( الأنوثة ) فكان ذلك في – علم الأصول – إشارة (1) إلى أن الحكم معلل في نص الحديث بعلة فطرية دائمة – غير موقوتة – وهي ( الأنوثة ) ، فالمرأة – بحكم كونها أنثى – لا يمكنها النهوض بأعباء الحكم بالنظر إلى ما حملت من وظيفة اجتماعية وإنسانية أخرى، ليس من السهل التهاون بأمرها، ولا الغض من آثارها في تنشئة جيل قوي البنيان – مادة – ومعنى – بفضل تدبير المرأة – وبحكم فطرتها المتميزة في شؤونها المتعددة وبما فيها الأسرة بكاملها .

(شرح السنة للبغوي جزء ۱۰ ص ٧٧)

قَالَ الإِمَامُ: اتَّفَقُوا عَلَى أنَّ الْمَرْأَةَ لَا تَصْلُحُ أَنْ تَكُونَ إِمَامًا وَلا قَاضِيًا، لأَنَّ الإِمَامَ يَحْتَاجُ إِلَى الْخُرُوجِ لإِقَامَةِ أَمْرِ الْجِهَادِ، وَالْقِيَامِ بِأُمُورِ الْمُسْلِمِينَ، وَالْقَاضِي يَحْتَاجُ إِلَى الْبُرُوزِ لِفَصْلِ الْخُصُومَاتِ، وَالْمَرْأَةُ عَوْرَةٌ لَا تَصْلُحُ لِلْبُرُوزِ، وَتَعْجَزُ لِضَعْفِهَا عِنْدَ الْقِيَامِ بِأَكْثَرِ الأُمُورِ، وَلأَنَّ الْمَرْأَةَ نَاقِصَةٌ، وَالإِمَامَةُ وَالْقَضَاءُ مِنْ كَمَالِ الْوِلايَاتِ، فَلا يَصْلُحُ لَهَا إِلا الْكَامِلُ مِنَ الرِّجَالِ، وَلا يَصْلُحُ لَهَا الأَعْمَى، لأَنَّهُ لَا يُمْكِنُهُ التَّمْيِيزَ بَيْنَ الْخُصُوم

[5] (المراة و الحقوق السياسة في الإسلام ص ٥٣٢)

قال الدكتور محمد البهي : « قول الرسول عليه السلام بعدم نجاح المرأة في تولي الولاية العامة يعود إلى أهم خصائصها الذاتية، وهي عدم التحمل والصبر، وعدم التأني، وقلة المراجعة لأسباب المشاكل والأزمات، وكثرة : التقلب والتغيير في العاطفة والانفعال . والولاية العامة تستوي فيها هنا : الإمامة والرياسة الكبرى، والوزارة والسفارة، والقضاء. إن المرأة تحيض، وتحمل، وتلد وتنفس ، وترضع ، وتباشر الحضانة ، وهي في كل ذلك تتعرض لمؤثرات ذاتية تستجيب لها على نحو معين من غير أن تكون لها إرادة في الاستجابة، والفصل في وظيفة الولاية العامة أو في القضاء أحوج ما يكون إلى استقرار الوالي أو القاضي، وعدم تعرضه لمؤثرات ذاتية أوبدنية قد تكون متناقضة. إن طبيعة الوظائف السياسية تقتضي من متقلدها الخلوة والاختلاط، وتبادل النظر، والمصافحة، والعناق، والمرأة ممنوعة من كل ذلك شرعا – كما تقدم في مباحث الرسالة – فلا تولّى على تلك الوظائف.

[6] (تحفة الأحوذي جزء ٦ ص ٤٨)

هِيَ بُورَانُ بِنْتُ شِيرَوَيْهِ بْنِ كِسْرَى بْنِ بِرْوِيزَ ، وَذَلِكَ أَنَّ شِيرَوَيْهِ لَمَّا قَتَلَ أَبَاهُ كَانَ أَبُوهُ لَمَّا عَرَفَ أَنَّ اِبْنَهُ قَدْ عَمِلَ عَلَى قَتْلِهِ اِحْتَالَ عَلَى قَتْلِ اِبْنِهِ بَعْدَ مَوْتِهِ فَعَمِلَ فِي بَعْضِ خَزَائِنِهِ الْمُخْتَصَّةِ بِهِ حُقًّا مَسْمُومًا وَكَتَبَ عَلَيْهِ حُقُّ الْجِمَاعِ مَنْ تَنَاوَلَ مِنْهُ كَذَا جَامَعَ كَذَا فَقَرَأَهُ شِيرَوَيْهِ فَتَنَاوَلَ مِنْهُ فَكَانَ فِيهِ هَلَاكُهُ فَلَمْ يَعِشْ بَعْدَ أَبِيهِ سِوَى سِتَّةَ أَشْهُرٍ فَلَمَّا مَاتَ لَمْ يُخَلِّفْ أَخًا لِأَنَّهُ كَانَ قَتَلَ إِخْوَتَهُ حِرْصًا عَلَى الْمُلْكِ ، وَلَمْ يُخَلِّفْ ذَكَرًا ، وَكَرِهُوا خُرُوجَ الْمُلْكِ عَنْ ذَلِكَ الْبَيْتِ فَمَلَّكُوا الْمَرْأَةَ وَاسْمُهَا بُورَانُ بِضَمِّ الْمُوَحَّدَةِ ، ذَكَرَ ذَلِكَ اِبْنُ قُتَيْبَةَ فِي الْمَغَازِي . وَذَكَرَ الطَّبَرِيُّ أَيْضًا أَنَّ أُخْتَهَا أَرْزِمِيدَ خُتْ مَلَكَتْ أَيْضًا

[7] (بداية المجتهد ونهاية المقتصد جزء ۱ ص ۱۰٥)

اختلفوا في إمامة المرأة، فالجمهور على أنه لايجوز أن تؤم الرجال، واختلفوا في إمامتها النساء فأجاز ذلك الشافعي، ومنع ذلك مالك، وشذ أبو ثور والطبري فأجاز إمامتها على الإطلاق

 

*Mahasantri Mahad Al-Jami’ah Al-Aly UIN Malang Angkatan 5