Hukum Memelihara Anjing Perspektif Tiga Madzhab

  Oleh: Lutfiah Umu Sholikhah, Silvia Rahma Nur Fauziyah, dan Nuril Aida Rodiana

Malang – Dalam era modern yang semakin berkembang, persoalan hukum terkait pemeliharaan anjing dalam Islam menjadi semakin relevan, terutama dengan banyaknya kasus yang mencuat dalam masyarakat. Fenomena ini menimbulkan perbincangan kompleks di tengah umat Islam, terutama ketika banyak individu memelihara anjing tanpa adanya keperluan yang jelas. Tidak hanya mencakup isu pemeliharaan untuk kebutuhan seperti berburu atau penjagaan, tetapi juga mencakup tren memelihara anjing sebagai hewan peliharaan umumnya.

Kasus-kasus kontroversial terkait pemeliharaan anjing seringkali menciptakan dilema, di mana beberapa menganggapnya sebagai kebutuhan, sementara yang lain merasa hal tersebut bertentangan dengan nilai-nilai agama. Persoalan ini mencakup aspek-aspek seperti menjual dan membeli anjing, yang semakin membingungkan masyarakat dan memerlukan pandangan ulama yang tegas. Pentingnya memahami hukum memelihara anjing dalam Islam tidak hanya terletak pada aspek ibadah dan peribadatan, tetapi juga mencakup nilai-nilai kebersihan, tanggung jawab, dan harmoni dalam masyarakat. Dengan munculnya pertanyaan-pertanyaan kompleks ini, sangat penting untuk merinci perspektif lintas madzhab dan pendapat ulama terkait hukum memelihara anjing dalam Islam. Artikel ini akan mencoba menggali pandangan ulama dari berbagai madzhab, memberikan pemahaman yang komprehensif terkait hukum ini dalam konteks kekinian

Madzhab Syafi’iiyah

Menurut prespektif Madzhab Syafi’iiyah, memelihara anjing tidak diperbolehkan kecuali adanya hajat. Salah satu pendapat yang mengatakan hal tersebut yaitu Imam An-Nawawi dalam kitabnya yang berjudul Al-Majmu’.

(الْخَامِسَةُ) قَالَ الشَّافِعِيُّ وَالْأَصْحَابُ لَا يَجُوزُ اقْتِنَاءُ الْكَلْبِ الَّذِي لَا مَنْفَعَةَ فِيهِ وَحَكَى الرُّويَانِيُّ عَنْ أَبِي حَنِيفَةَ جَوَازَهُ دَلِيلُنَا الْأَحَادِيثُ السَّابِقَةُ قَالَ الشَّافِعِيُّ وَالْأَصْحَابُ وَيَجُوزُ اقْتِنَاءُ الْكَلْبِ لِلصَّيْدِ أَوْ الزَّرْعِ أَوْ الْمَاشِيَةِ بِلَا خِلَافٍ لِمَا ذَكَرَهُ الْمُصَنِّفُ وَفِي جَوَازِ إيجَادِهِ لِحِفْظِ الدُّورِ وَالدُّرُوبِ وَجْهَانِ مَشْهُورَانِ ذَكَرَهُمَا الْمُصَنِّفُ بِدَلِيلِهِمَا

Artinya: (Yang kelima) Imam Syafi’i dan pengikutnya berkata tidak diperbolehkan memelihara anjing yang tidak ada manfaatnya. Imam Al Ruwyani menceritakan dari Abu Hanifah tentang diperbolehkannya hal tersebut berdasarkan hadits yang telah lalu. Kemudian Imam Syafi’i dan pengikutnya berkata diperbolehkan memelihara anjing untuk berburu atau menanam atau menuntun tanpa adanya perbedaan terkait apa yang telah dijelaskan oleh mushonnif. Adapun kebolehan memelihara anjing untuk menjaga rumah atau gerbang terdapat dua qoul yang masyhur yang telah dijelaskan oleh mushonnif beserta dalilnya.

Pendapat tersebut juga terdapat dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam. Hadist tersebut merupakan istidlal yang digunakan oleh Imam Syafi’i Muslim untuk menghukumi keharaman memelihara anjing tanpa adanya suatu hajat.

حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ يَحْيَى، قَالَ: قَرَأْتُ عَلَى مَالِكٍ، عَنْ نَافِعٍ، عَنِ ابْنِ عُمَرَ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَنِ اقْتَنَى كَلْبًا إِلَّا كَلْبَ مَاشِيَةٍ، أَوْ ضَارٍ، نَقَصَ مِنْ عَمَلِهِ كُلَّ يَوْمٍ قِيرَاطَان( مسلم، صحيح مسلم )

Artinya: Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Yahya dia berkata: Saya bacakan di hadapan Malik dari Nafi’ dari Ibnu Umar dia berkata, Rasulullah SAW bersabda: “Barangsiapa memelihara anjing selain anjing penjaga ternak atau anjing untuk berburu, maka amalannya berkurang dua qirath setiap harinya.”

Imam Ibnu Rif’ah dalam kitabnya mengatakan bahwasanya anjing yang tidak ada manfaatnya maka tidak diperbolehkan untuk memelihranya. Hal ini berdasarkan hadits Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Imam Muslim yang berbunyi:

وأما الكلاب التي لا تصلح لذلك فلا يجوز افتناؤها؛ لقوله صلى الله عليه وسلم: “من اقتنى كلباً ليس بكلب صيد ولا ماشية ولا أرض فإنه ينقص من أجره قيراطان” خرجه مسلم. (كفاية النبيه فى شرح التنبيه)

Menurut Imam Syafi’i larangan memelihara anjing dalam hadits tersebut hukumya haram dan hukum tersebut telah disepakati oleh para pengikutnya. Pendapat ini dikemukakan oleh Ibnu Rif’ah yang berbunyi:

قال الإمام: وأجمع الأصحاب على أنه نهي تحريم (كفاية النبيه فى شرح التنبيه)

Berdasarkan beberapa pendapat diatas, maka mengikuti pendapat Imam Syafi’i yang menyatakan haram memelihara anjing tanpa adanya hajat merupakan langkah yang tepat. Sebab istidlal yang digunakan oleh Imam Syafi’i merupakan hadits yang Shahih dan sebagai langkah untuk berhati-hati dalam menggunakan atau memanfaatkan hewan yang najis.

Madzhab Hanabilah

Status dan bagian najis anjing menurut pandangan ulama Madzhab Imam Hambali sama dengan Madzhab Imam Syafi’i. Mayoritas ulama’ dalam Madzhab Imam Hambali berpandangan sama mengenai hukum memelihara anjing di rumah. Yaitu adalah haram apabila tidak karena hajat tertentu seperti jaga tanaman, berburu, dan jaga hewan ternak. Sebagaimana pendapat Ibn Quddaamah yang merupakan salah satu ulama madzhab Hambali, yang terdapat dalam kitab Asy-Syarh Al-Kabiir ma’al Mughni 4/14

وأما اقتناؤه لحفظ البيوت فقد قال ابن قدامة : لا يجوز على الأصح للخبر المتقدم ، ويحتمل الإباحة (الشرح الكبير مع المغني 4 / 14)

Adapun memeliharanya untuk menjaga rumah menurut Ibn Quddaamah (dari madzhab Hanabilah) menurut pendapat yang paling shahih tidak diperbolehkan, dan memungkinkan juga untuk hukum kebolehannya.

Alasan keharaman memelihara anjing tanpa adanya hajat yakni karena setiap bagian tubuh anjing adalah najis hukumnya baik yang kering maupun yang basah. kenajisan air liur anjing termasuk ke dalam kelompok najis berat. Tidak hanya Mazhab Syafi’i, Mazhab Hanbali juga memandang status kenajisan air liur anjing dan yang terkait dengannya sebagai najis berat. Sebagaimana hadits Rasulullah yang diriwayatkan Abu Hurairah:

إِذَا شَرِبَ الْكَلْبُ فِي إِنَاءِ أَحَدِكُمْ فَلْيَغْسِلْهُ سَبْعا وَلِمُسْلِمٍ:أُولاهُنَّ بِالتُّرَابِ

Artinya: “Apabila anjing minum dari wadah salah seorang di antaramu, maka basuhlah tujuh kali.”

Madzhab Malikiyah

Sementara Imam Malik menyatakan kebolehan seorang Muslim untuk memelihara anjing untuk berbagai keperluan sebagai keterangan Ibnu Abdil Barr berikut ini:

وأجاز مالك اقتناء الكلاب للزرع والصيد والماشية وكان بن عمر لا يجيز اتخاذ الكلب إلا للصيد والماشية خاصة ووقف عندما سمع ولم يبلغه ما روى أبو هريرة وسفيان بن أبي زهير وبن مغفل وغيرهم في ذلك

Artinya, “Imam Malik membolehkan pemeliharaan anjing untuk jaga tanaman, perburuan, dan jaga hewan ternak. Sahabat Ibnu Umar tidak membolehkan pemeliharaan anjing kecuali untuk berburu dan menjaga hewan ternak. Ia berhenti ketika mendengar dan hadits riwayat Abu Hurairah, Sufyan bin Abu Zuhair, Ibnu Mughaffal, dan selain mereka terkait ini tidak sampai kepadanya” (Al-Istidzkar Al-Jami‘ li Madzahibi Fuqaha’il Amshar, juz XXVII, halaman 193).

Ibnu Abdil Barr, ulama Madzhab Maliki, menjelaskan bahwa pemeliharaan anjing tidak diharamkan. “Larangan” Rasulullah hanya bersifat makruh. Sedangkan pengurangan pahala hanya bersifat preventif sebagai keterangan berikut ini:

وفي هذا الحديث دليل على أن اتخاذ الكلاب ليس بمحرم وإن كان ذلك الاتخاذ لغير الزرع والضرع والصيد لأن قوله من اتخذ كلبا – [ أو اقتنى كلبا ] لا يغني عنه زرعا ولا ضرعا ولا اتخذه للصيد نقص من أجره كل يوم قيراط يدل على الإباحة لا على التحريم لأن المحرمات لا يقال فيها من فعل هذا نقص من عمله أو من أجره كذا بل ينهى عنه لئلا يواقع المطيع شيئا منها. وإنما يدل ذلك اللفظ على الكراهة لا على التحريم والله أعلم

Artinya, “Pada hadits ini terdapat dalil bahwa memelihara anjing haram sekalipun bukan untuk kepentingan jaga tanaman, ternak perah, dan berburu. Maksud redaksi hadits ‘Siapa saja yang menjadikan anjing’ atau ‘memelihara anjing’ bukan untuk jaga tanaman, jaga ternak perah, atau berburu maka akan berkurang pahalanya sebanyak satu qirath, menunjukkan kebolehan bukan pengharaman. Pasalnya, pengharaman tidak bisa ditarik dari pernyataan, ‘Siapa yang melakukan ini, maka akan berkurang amalnya atau pahalanya sekian.’ Larangan itu dimaksudkan agar Muslim yang taat tidak jatuh di dalamnya. Lafal ini menunjukkan larangan makruh, bukan haram. Wallahu a‘lam,” (Al-Istidzkar Al-Jami‘ li Madzahibi Fuqaha’il Amshar, juz XXVII, halaman 193-194).

Ibnu Abdil Barr menjelaskan bahwa pada prinsipnya kualitas pemeliharaan anjing tergantung pada bagaimana perlakuan keseharian kita terhadap hewan peliharaan tersebut. Kalau perilaku keseharian kita baik, maka Allah akan memberikan pahala. Tetapi ketika perilaku kita buruk, maka Allah akan membalas kita dengan dosa.

وقد يكون في التقصير في الإحسان إلى الكلب لأنه قانع ناظر إلى يد متخذه ففي الإحسان إليه أجر كما قال صلى الله عليه وسلم في كل ذي كبد رطبة أجر وفي الإساءة إليه بتضييقة وزر

Artinya, “Terkadang terjadi kelalaian untuk berbuat baik terhadap anjing. Hal ini cukup dilihat dari tangan orang yang memeliharanya. Berbuat baik terhadap anjing bernilai pahala sebagaimana sabda Rasulullah SAW, ‘Pada setiap limpa yang basah terdapat pahala.’ Berbuat jahat dengan kezaliman tertentu terhadap anjing bernilai dosa,” (Al-Istidzkar Al-Jami‘ li Madzahibi Fuqaha’il Amshar, juz XXVII, halaman 194).

Berdasarkan pandangan madzhab Syafi’iyah, pemeliharaan anjing umumnya tidak diperbolehkan karena dianggap najis. Namun, ada yang melakukannya untuk keperluan seperti menjaga tanaman, berburu, dan menjaga hewan ternak. Pandangan ini sejalan dengan madzhab Hanabilah yang juga menekankan bahwa memelihara anjing untuk kebutuhan tertentu diperbolehkan, namun memelihara anjing sebagai hewan peliharaan umumnya tidak diperbolehkan kecuali ada hajat atau kebutuhan yang jelas. Meskipun demikian, menurut madzhab Maliki pemeliharaan anjing dianggap makruh, tidak haram, dan tergantung pada perlakuan sehari-hari terhadap anjing tersebut.

Wallahu A’lam bi al shawab