Fenomena Ustadzah Haid Menjadi Guru Ngaji

Oleh : Lutfiah Umu Sholikhah* 

Profesi pengajar termasuk profesi yang banyak dipilih oleh kaum perempuan. Sebagai seorang muslimah, tentu menjaga kesucian saat aktivitas pengajar juga sangat dianjurkan. bagaimana ketika pengajar perempuan sedang mengalami menstruasi atau haid?  Bolehkah mereka tetap melanjutkan aktifitas mengajarkan Al-Qur’an meskipun dalam kondisi sedang haid? Atau seorang perempuan yang sedang belajar Al-Qur’an, haruskah berhenti belajarnya saat sedang haid?

Dalam Islam, semua ulama mazhab sepakat bahwa haram hukumnya bagi perempuan yang sedang haid menyentuh, membawa dan membaca Al-Qur’an di luar aktifitas belajar mengajar. Namun para ulama berbeda pendapat dalam menyikapi hal tersebut.

PEMBAHASAN

Menurut jumhurul ulama orang yang sedang haid tidak diperbolehkan membaca Al-Qur`an. Hal ini didasarkan pada dalil. Di antaranya adalah firman Allah SWT:

لَّا يَمَسُّهُ إِلَّا الْمُطَهَّرُونَ

Tidak ada yang menyentuhnya (al-Qur`an) kecuali hamba-hamba yang disucikan” (Q.S. Al-Waqi’ah [56]: 79)

Jumhur ulama mengistinbatkan bahwa ayat tersebut melarang orang-orang yang berhadas, baik hadas kecil maupun hadas besar untuk menyentuh atau memegang mushaf Al-Qur’an, berdasarkan hadis Muāż bin Jabal, Rasul bersabda, “Tidak boleh menyentuh mushaf kecuali orang suci.” Pendapat inilah yang dianut oleh sebagian besar umat Islam di Indonesia. Ada dua pendapat tentang hukum menyentuh mushaf yaitu:

  1. Imam empat mazhab berpendapat tidak boleh menyentuh mushaf tanpa wudhu. Menurut Imam Nawawi, firman Allah: “lā yamassuhu illal-mutahharūn” bermakna tidak menyentuh mushaf ini kecuali orang yang suci dari hadas.
  2. Mazhab az-Zahiri berpendapat boleh menyentuh mushaf tanpa wudhu dengan alasan bahwa Rasulullah saw pernah mengirim surat yang ada ayat Al-Qur’annya kepada Heraklius padahal dia non muslim dan tidak berwudhu. Anak kecil membawa tempat menulis Al-Qur’an dan buku yang ada tulisan Al-Qur’an diperbolehkan oleh para ulama.

Terdapat juga hadis yang dapat menjawab persoalan tersebut, yaitu:

عَنِ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: لَا تَقْرَأُ الحَائِضُ وَلَا اْلجُنُبُ شَيْئاً مِنَ القُرْآنِ

Dari Ibnu Umar Ra ia berkata: Rasulullah SAW bersbada: Tidak boleh orang yang haid dan orang yang dalam keadaan junub membaca ayat Al-Qur`an” (HR. Ad-Daruquthni).

Hadis diatas menjelaskan mengenai hukum membaca Al-Quran bagi orang yang berhadas. Namun apabila perempuan yang haid tersebut membaca Al-Qur’an dengan tujuan untuk mengajar atau membenarkan bacaan yang salah maka dalam hal ini diperbolehkan. Hal ini sebagaimana orang yang dalam keadaan junub yang masih diperbolehkan membaca Al-Quran selama tidak diniati untuk membaca (misalnya untuk tujuan berdoa, yang ada ayat Al-Qur’annya).

وَتَحْرُمُ قِرَاءَةُ القُرْآنِ عَلَى نَحْوِ جُنُبٍ بِقَصْدِ القِرَاءَةِ وَلَوْ مَعَ غَيْرِهَا لَا مَعَ الِإطْلَاقِ عَلَى الرَّاجِحِ وَلَا بِقَصْدِ غَيْرِ الْقِرَاءَةِ كَرَدِّ غَلَطٍ وَتَعْلِيمٍ وَتَبَرُّكٍ وَدُعَاءٍ

“Dan haram membaca al-Qur`an bagi semisal orang junub dengan tujuan membacanya walaupun dibarengi dengan tujuan lainnya, dan menurut pendapat yang kuat tidak haram baginya bila memutlakkan tujuannya. Dan juga tidak haram tanpa adanya tujuan membacanya (al-Qur`an) seperti membenarkan bacaan yang keliru, mengajarkannya, mencari keberkahan dan berdoa”. (Bughyah al-Mustarsyidin, h.52)

Bahkan madzhab maliki memperbolehkan perempuan yang haid membaca Al-Quran secara mutlak. Begitu juga bagi perempuan yang mengajar atau diajar (guru-murid) yang dalam kondisi haid boleh menyentuh mushaf. Alasannya adalah orang yang junub itu bisa dengan mudah menghilangkan hal yang bisa membuatnya dilarang untuk menyentuh al-Quran yaitu hadats besar yang cara menghilangkannya dengan mandi besar. Hal ini didasarkan pada dalil dibawah ini:

وَذَهَبَ الْمَالِكِيَّةُ إِلَى أَنَّ الْحَائِضَ يَجُوزُ لَهَا قِرَاءَةُ الْقُرْآنِ فِي حَال اسْتِرْسَال الدَّمِ مُطْلَقًا، كَانَتْ جُنُبًا أَمْ لاَ، خَافَتِ النِّسْيَانَ أَمْ لاَ. وَأَمَّا إِذَا انْقَطَعَ حَيْضُهَا، فَلاَ تَجُوزُ لَهَا الْقِرَاءَةُ حَتَّى تَغْتَسِل جُنُبًا كَانَتْ أَمْ لاَ، إِلاَّ أَنْ تَخَافَ النِّسْيَان

Membahas mengenai mengaji Al-Quran atau pengajaran Al-Qur’an, maka tentu kita juga akan membahas mengenai tempat yang biasanya dipakai untuk melakukan pembelajaran Al-Qur’an, bagaimana jika pengajaran tersebut dilakukan di dalam masjid? Sedangkan pengajar perempuan nya sedang mengalami Haid atau Menstruasi?

Dalam hal tersebut ada dua kalimat yang berhubungan dengan pembahasan diatas dan harus dijelaskan lebih lebar, yakni مكث   dan عبور

 “مكث“dalam kitab mu’jam memilik arti menetap atau berdiam di masjid baik karena adanya tujuan syariat  ataupun tidak seperti contoh:   menunggu waktu sholat, i’tikaf atau Mendengarkan Al-Quran, hal tersebut telah dijelaskan dalam kitab Al-Qaul Ahmad fi ahkami li hurmat al-masjid

أجمع العلماء على أن المحدث حدثاً أصغر يجوز له الجلوس في المسجد سواء مكث بغرض شرعي، كانتظار صلاة أو اعتكاف أو سماع قرآن أو علم آخر أو غرض أم لغير غرض.

Beberapa ulama’ ahli fiqih berbeda pendapat jika hal tersebut dikaitkan dengan perempuan yang sedang berhadast besar, seperti Haid.

واختلف الفقهاء في جلوس المحدث حدثاً أكبر والحائض في المسجد على قولين:
القول الأول: يحرم مكث الحائض والجنب في المسجد وبه قال الجمهور ومنهم الحنفية والمالكية والشافعية والحنابلة.
القول الثاني: يجوز مكث الحائض والجنب مطلقاً لحاجة ولغير حاجة. وهو مروي عن ابن عباس ـ رضي الله عنهما ـ ومجاهد وسعيد بن جبير وقتادة وبه قال المزني وابن المنذر والظاهرية٣ وبه قال بعض الشافعية إذا دعت الضرورة
كتاب القول الأحمد في أحكام في حرمة المسجد
عبد الله السهلي

  • pendapat pertama mengatakan haram bagi orang yang haid dan junub, sebagaimana yang dikatakan oleh jumhuru ulama diantaranya Hanafiyah, Malikiyah, Syafi’iyah dan Hanabilah.
  • pendapat kedua memperbolehkan menetap dimasjid bagi orang haid secara mutlak baik dengan adanya hajat ataupun tidak, hadis tersebut diriwayatkan oleh Ibnu ‘abbas dan lainnya

عبور“” merupakan bentuk masdar dari lafadzعبر  dalam kitab mu’ jamul ‘araby memiliki makna melintasi, seperti contoh

ذكرى عبور الجيش المصريّ قناة السُّويس في السَّادس من أكتوبر سنة ١٩٧٣م العاشر من رمضان سنة ١٣٩٣هـ

Yaitu peringatan terhadap tentara Mesir yang meliwati terusan Suez pada tanggal 06 Oktober 1973/10 Ramadhan 1393 H

Jadi maksud dari عبور disini yaitu melintasi yang tanpa adanya menetap di tempat tersebut, seperti orang haid yang hanya melintas atau lewat tanpa menetap di dalam masjid, mengenai hal tersebut terdapat juga perbedaan pendapat, yakni:

اختلف الفقهاء في عبور الحائض والجنب المسجد على ثلاثة أقوال:
القول الأول: يحرم عبور الجنب والحائض المسجد وهو قول الحنفية والمالكية والحنابلة في رواية.
القول الثاني: يجوز عبور الجنب والحائض المسجد، وبه قال الشافعية في الصحيح والحنابلة في المذهب والظاهرية.
القول الثالث: يجوز عبور الحائض والجنب المسجد إذا دعت لذلك الحاجة والضرورة، وبه قال الشافعية في وجه وبعض الحنابلة

  • Menurut Hanafiyah, Malikiyah dan Hanabilah haram hukumnya melintasi masjid bagi orang yang sedang haid atau junub dalam kitab riwayah
  • Boleh melintasi atau melewati masjid bagi orang yang sedang haid ataupun junub, menurut Syafi’iyah dalam kitab sahih dan kalangan hanabilah dalam kitab madzhab wa dzohiriyah.
  • Boleh melintasi atau melewati masjid bagi orang yang haid, apabila adanya undangan atau dhorurot yang lainnya, hal ini dikatakan oleh Syafi’iyah في وجه dan sebagian Hanabilah.

SARAN & KESIMPULAN

Kesimpulan dari penjelasan diatas yaitu bahwa hukum bagi orang haid dalam menyentuh dan membaca mushaf adalah haram, namun ada beberapa rukhsoh terhadap hal tersebut yakni diperuntukkan kepada wanita haid yang menjadi pengajar Al-Qur’an, maka dalam hal tersebut terdapat perbedaan dadi beberapa pendapat.

Hukum dari مكث  sendiri juga berbeda-beda, namun dari beberapa literasi yang ada bahwa zaman dahulu diharamkan menetap di dalam masjid bagi orang haid karena belum adanya pembalut atau alat untuk menghalangi menetesnya darah dari orang haid tersebut, berbeda dengan sekarang yang mudah untuk mendapatkan atau meminimalisir menetesnya darah dalam lamtai maajid. Namun alangkah baiknya ketika perempuan haid berdiam atau mengikuti acara yang bertempat di dalam masjid, dianjurkan membawa alas untuk dirinya sendiri, supaya tidak dikhawatirkan mengotori masjid tersebut.

Begitu juga dengan عبور  yakni melewatinya orang haid di masjid, dalam hal ini melewati bisa mengandung beberapa arti, hukum dari hal tersebut juga berbeda-beda. Namun ketika melewati masjid tersebut dikhawatirkan dapat mengotori masjid karena mungkin bisa disebabkan masih memasuki hari pertama keluarnya darah, maka diperbolehkan melewati halaman masjid yang sekiranya tidak digunakan untuk ibadah jika memang tidak adanya jalan lain yang bisa dilewati.

 

*Mahasantri Mahad Al-Jami’ah Al-Aly UIN Malang Angkatan 5