Bolehkah Menikah Tanpa Mahar?

Sebagaimana yang kita ketahui, mahar bukanlah rukun dari pernikahan. Sehingga jika tidak diucapkan dalam akad nikah tidak berdampak pada kerusakan akad. Kendati demikian, para ulama’ sepakat bahwa pemberian mahar oleh suami dalam akad nikah merupakan suatu hal yang wajib. Alasannya adalah karena mahar merupakan bagian dari hak-hak istri atas suami. Mahar menjadi simbol penghargaan Allah SWT terhadap perempuan dan bukti tanggung jawab suami dalam pernikahan. Namun bagaimana jika terdapat pernikahan yang tidak menyebutkan akad didalamnya?

Dalam literatur fiqih, terdapat istilah “al-tafwidh” atau nikah mufawwidah. Nikah mufawwidah adalah akad pernikahan yang dilakukan tanpa adanya mahar sebab permintaan dari mempelai perempuan yang mengizinkan pihak mempelai laki-laki menikahinya tanpa perlu menyerahkan mahar. Hukum pernikahan seperti ini adalah sah dengan syarat perempuan tersebut bukanlah anak kecil, orang gila, atau idiot sehingga dia rela dengan penuh kesadaran.

Meskipun demikian, bukan berarti seorang laki-laki tersebut terbebas dari mahar. Dia tetap dibebani kewajiban memberi mahar dengan tiga sebab:

1. Persetubuhan

Laki-laki wajib memberikan mahar mitsil jika ia menggauli istrinya meskipun istrinya mengizinkan tanpa adanya mahar. Ini karena urusan persetubuhan atas alat vital perempuan bukan hanya hak perempuan semata, melainkan juga hak Allah Swt. Artinya, ketentuan bahwa setiap persetubuhan, kecuali zina, harus disertai mahar, tidak dapat digugurkan meskipun perempuan tersebut rela. Maka jika perceraian terjadi sebelum bersetubuh atau menyepakati mahar, suami menjadi terbebas dari kewajiban mahar. Sebagaimana persetubuhan adalah kematian, jika terjadi pada salah satu pasangan, mahar mitsil tetap harus dibayarkan. Hal ini sebagimana yang terdapat dalam kitab Nihayatul Muhtaj:

(فَإِنْ) (وَطِئَ) الْمُفَوَّضَةَ وَلَوْ مُخْتَارَةً (فَمَهْرُ مِثْلٍ) لَهَا لِأَنَّ الْبُضْعَ حَقُّ اللَّهِ تَعَالَى، إذْ لَا يُبَاحُ بِالْإِبَاحَةِ،[ نهاية المحتاج إلى شرح المنهاج 348/6]

Artinya: “(Jika) suami (menggauli) istri yang bahkan jika (istri) rela, maka wajib bagi istri (mahar mitsil) untuknya. Karena persetubuhan adalah hak Allah SWT, dan tidak dibolehkan dengan izin kerelaan.

2. Kesepakatan kedua belah pihak

Meski suami dibebani kewajiban memberi mahar mistil ketika terjadi persetubuhan, suami juga berhak menentukan nominal mahar sebelum melakukan persetubuhan dengan kesepakatan istri. Istri juga berhak untuk menolak disentuh sampai suami menentukan mahar. Jika tekah disepakati nominal mahar sebelum persetubuhan, maka mahar tersebut yang berlaku, bukan mahar mitsil. Namun bila terjadi perselisihan mahar, yaitu istri ingin mahar lebih dari mahar mitsil, sedang suami mematok mahar mitsil, maka suami yang dimenangkan. Lalu ketika nominal mahar telah ditentukan, kemudian suami menjatuhkan talak, maka dia berhak mendapat separuh mahar. sebagaimana keterangan dalam kitab Nihayatul Muhtaj:

(وَلَهَا قَبْلَ الْوَطْءِ مُطَالَبَةُ الزَّوْجِ بِأَنْ يَفْرِضَ لَهَا مَهْرًا) لِتَكُونَ عَلَى بَصِيرَةٍ مِنْ تَسْلِيمِ نَفْسِهَا.[نهاية المحتاج إلى شرح المنهاج 348/6]

(وَ) لَهَا أَيْضًا (حَبْسُ نَفْسِهَا) عَنْ الزَّوْجِ (لِيَفْرِضَ) لَهَا مَهْرًا لِمَا مَرَّ أَيْضًا (وَكَذَا التَّسْلِيمُ الْمَفْرُوضُ فِي الْأَصَحِّ) كَمَا لَهَا ذَلِكَ فِي الْمُسَمَّى فِي الْعَقْدِ إذْ مَا فُرِضَ بَعْدَهُ بِمَنْزِلَةِ مَا سَمَّى فِيهِ (وَيُشْتَرَطُ رِضَاهَا بِمَا يَفْرِضُهُ الزَّوْجُ) وَإِلَّا فَكَمَا لَوْ لَمْ يُفْرَضْ لِأَنَّ الْحَقَّ لَهَا، نَعَمْ إنْ فُرِضَ لَهَا مَهْرُ مِثْلِهَا بِاعْتِرَافِهَا حَالًّا مِنْ نَقْدِ بَلَدِهَا لَمْ يُعْتَبَرْ رِضَاهَا [نهاية المحتاج إلى شرح المنهاج]

Artinya: “(Dan istri berhak menuntut suami untuk menetapkan mahar baginya sebelum persetubuhan) agar dia mengetahui dengan jelas sebelum menyerahkan dirinya. (Dan) istri juga berhak (menahan dirinya) dari suami (agar suami menetapkan) mahar untuknya, berdasarkan apa yang telah disebutkan sebelumnya. (Demikian pula penyerahan mahar yang ditetapkan adalah yang paling sahih) seperti dia berhak atas hal itu dalam mahar yang disebutkan dalam akad nikah, karena apa yang ditetapkan setelah akad adalah sama dengan apa yang disebutkan di dalam akad. (Dan disyaratkan keridhaannya atas mahar yang ditetapkan oleh suami), jika tidak, maka disamakan seperti jika mahar tidak ditetapkan (mitsil). Bahkan jika telah ditentukan mahar seperti wanita lainnya (mitsil) dengan pengakuannya segera dalam mata uang negaranya, maka keridhaan istri tidak diperhitungkan.

3. Penentuan Hakim

Ketika terjadi perselisihan mengenai penentuan jumlah mahar atau jika suami enggan menetapkannya, maka keputusan berada pada hakim. Hakim harus menetapkan keputusan berdasarkan mahar kontan, dengan mempertimbangkan nilai mahar mitsil agar tidak lebih atau kurang, kecuali sedikit saja. Sebagaimana keterangan dalam kitab Hasyiyah Bujairami:

(أَوْ يَفْرِضُهُ الْحَاكِمُ) إذَا امْتَنَعَ الزَّوْجُ مِنْ الْفَرْضِ لَهَا أَوْ تَنَازَعَا فِي قَدْرِ الْمَفْرُوضِ كَمْ يُفْرَضُ؛ لِأَنَّ مَنْصِبَهُ فَصْلُ الْخُصُومَاتِ، وَلَكِنْ يَفْرِضُهُ الْحَاكِمُ حَالًّا مِنْ نَقْدِ الْبَلَدِ كَمَا فِي قِيَمِ الْمُتْلَفَاتِ لَا مُؤَجَّلًا وَلَا بِغَيْرِ نَقْدِ الْبَلَدِ وَإِنْ رَضِيَتْ الزَّوْجَةُ بِذَلِكَ؛ وَيُفْرَضُ مَهْرُ مِثْلٍ بِلَا زِيَادَةٍ وَلَا نَقْصٍ. وَيُشْتَرَطُ عِلْمُ الْحَاكِمِ بِمَهْرِ الْمِثْلِ حَتَّى لَا يَزِيدَ عَلَيْهِ وَلَا يَنْقُصَ عَنْهُ إلَّا بِالتَّفَاوُتِ الْيَسِيرِ [ حاشية البجيرمي على الخطيب 440/3]

Artinya: (Atau ditentukan oleh hakim) Jika suami menolak menentukan mahar atau terjadi perselisihan mengenai nominal mahar, maka hakimlah yang berhak memutuskannya. Hal ini karena tugas hakim adalah menyelesaikan perselisihan. Namun, hakim harus menentukan mahar secara tunai dari mata uang yang berlaku di wilayah tersebut, seperti halnya dalam penilaian ganti rugi, dan tidak boleh dicicil atau menggunakan mata uang lain. Jika istri menyetujui, hakim dapat menentukan mahar mitsil tanpa penambahan maupun pengurangan. Hakim harus mengetahui mahar mitsil dengan benar agar tidak melebihi atau kurang dari nominal tersebut, kecuali ada perbedaan yang sedikit.

Namun, jika tidak adanya penyebutan mahar bukan karena permintaan mempelai perempuan (bukan karena kerelaan mempelai perempuan agar dinikahi tanpa mahar) maka bukanlah disebut tafwidh. Sehingga kendati akad pernikahan hukumnya sah, sang suami tetap dibebani kewajiban memberi mahar mistil untuk istri. Kewajiban memberi mahar mistil ini disebabkan karena akad, bukan digantungkan pada tiga hal yang telah disebutkan diatas. Hal ini sebagaimana keterangan dalam kitab Hasyiyah Bujairami:

قَوْلُهُ: (فَإِنْ لَمْ تَكُنْ مُفَوِّضَةً) وَقَالَ بَعْضُهُمْ: قَوْلُهُ ” وَإِذَا خَلَا الْعَقْدُ إلَخْ ” غَرَضُهُ بِهَذَا إصْلَاحُ الْمَتْنِ، فَإِنَّ الْمَتْنَ يَقْتَضِي أَنَّهُ إذَا لَمْ يُسَمَّ فِي الْعَقْدِ صَدَاقٌ لَا يَجِبُ مَهْرُ الْمِثْلِ إلَّا بِوَاحِدَةٍ مِنْ ثَلَاثَةٍ وَإِنْ لَمْ يَكُنْ هُنَاكَ تَفْوِيضٌ، وَلَيْسَ كَذَلِكَ بَلْ إذَا لَمْ يُسَمِّ الصَّدَاقَ وَلَمْ يَكُنْ تَفْوِيضٌ وَجَبَ مَهْرُ الْمِثْلِ بِالْعَقْدِ وَلَا يَتَوَقَّفُ عَلَى فَرْضٍ وَلَا وَطْءٍ، وَأَمَّا إذَا كَانَ هُنَاكَ تَفْوِيضٌ فَلَا يَجِبُ بِالْعَقْدِ شَيْءٌ وَإِنَّمَا يَجِبُ بِوَاحِدٍ مِنْ ثَلَاثَةٍ؛ وَهَذِهِ هِيَ مُرَادُ الْمُصَنِّفِ بِقَوْلِهِ: فَإِنْ لَمْ يُسَمِّ صَحَّ الْعَقْدُ وَوَجَبَ مَهْرُ الْمِثْلِ إلَخْ . [حاشية البجيرمي على الخطيب 4307/3]

Artinya: “Dan sebagian dari mereka berkata: tujuan dari kalimat ‘dan jika akad itu sepi dari penentuan mahar, dst.’ adalah untuk memperbaiki matan. karena matan mengharuskan bahwa jika dalam akad tidak disebutkan mahar, maka mahar mitsil tidak wajib kecuali dengan salah satu dari tiga hal, meskipun tidak ada tafwidh (tidak ada pembebasan mahar dari istri). Namun tidaklah demikian, melainkan jika tidak disebutkan mahar dalam akad dan tidak ada tafwidh, maka mahar mitsil wajib dengan sebab akad dan tidak tergantung pada penetapan atau persetubuhan. sedangkan jika ada tafwidh (pembebasan mahar dari istri), maka mahar tidak wajib dengan akad, melainkan wajib dengan salah satu dari tiga hal; dan inilah yang dimaksud oleh mushonnif dengan perkataannya: maka jika tidak disebutkan, akad tetap sah dan wajib mahar mitsil, dst.”