Apakah Boleh Berinteraksi dengan Orang Lain Pada Perkara yang Tidak haram, Tetapi Menurut Orang Lain Haram?

Oleh : Akiful khoir

Malang – Fikih ialah produk hukum dari para ulama’ yang mungkin dan banyak terjadi perbedaan pendapat (khilafiyyah). Bagi seseorang yang memiliki banyak literasi dalam kajian fikih, tentu tidak asing menemui banyak sekali perbedaan pendapat baik dalam lingkup satu madzhab maupun lintas madzhab. Dan, dalam luasnya perbedaan pendapat dalam fikih, memberikan seseorang alternatif dalam memilih dan memilah pendapat pada suatu masalah.

Berpindah (intiqal) dari satu madzhab ke madzhab lain bagi seseorang diperbolehkan, baik berpindah secara total menuju madzhab lain atau berpindah pada sebagian situasi saja, dengan syarat tidak menimbulkan talfiq (mencampuradukkan dua pendapat sehingga lahir pendapat baru yang tidak pernah ada ulama yang menyatakannya). (I’anah at Thalibin juz 4 hal. 250).

Kebebasan dalam memilih pendapat yang tentunya mu’tabar (dapat diikuti) memungkinkan terbentuknya komunitas yang antar individu bisa jadi berbeda pendapat dalam suatu persoalan. Problematika muncul, seandainya seseorang berbeda pendapat dengan seseorang lain, terlebih berbeda akan boleh atau haramnya suatu hal. Apakah diperbolehkan misalnya seseorang berinteraksi atau bertransaksi perkara yang mubah menurutnya dengan seseorang yang meyakininya itu haram?

Di dalam literatur fikih terdapat keterangan furu‘ (kasuistik) bahwa seseorang bergaul atau bertransaksi perkara yang mubah menurutnya, dengan seseorang yang meyakininya itu haram, pendapat yang aqrab (mendekati kebenaran) ialah haram karena termasuk kategori i’anah alal ma’ashi (membantu terjadinya maksiat).

Misalnya, seorang bermadzhab syafi’i yang mengikuti pendapat bai’ mu’athah itu haram, tidak diperbolehkan bagi seorang bermadzhab maliki yang menganggapnya itu diperbolehkan bertransaksi bai’ mu’athah (jual beli tanpa shigot) dengannya. Kasus lainnya, misalnya seorang bermadzhab syafi’i yang meyakini permainan catur itu boleh, tidak diperbolehkan baginya bermain catur dengan seorang bermadzhab maliki yang meyakininya itu haram.

(فَرْعٌ) وَقَعَ السُّؤَالُ عَمَّا لَوْ وَقَعَ بَيْعٌ بِمُعَاطَاةٍ بَيْنَ مَالِكِيٍّ وَشَافِعِيٍّ هَلْ يَحْرُمُ عَلَى الْمَالِكِيِّ ذَلِكَ لِإِعَانَتِهِ الشَّافِعِيَّ عَلَى مَعْصِيَةٍ فِي اعْتِقَادِهِ أَمْ لَا؟ فِيهِ نَظَرٌ وَالْجَوَابُ عَنْهُ أَنَّ الْأَقْرَبَ الْحُرْمَةُ كَمَا لَوْ لَعِبَ الشَّافِعِيُّ مَعَ الْحَنَفِيِّ الشِّطْرَنْجَ وَمَعَ ذَلِكَ إنَّمَا يُرْجَعُ فِيهِ لِمَذْهَبِ الْمَالِكِيِّ هَلْ يَقُولُ بِحُرْمَةِ ذَلِكَ عَلَيْهِ أَمْ لَا

“Terdapat pertanyaan misalnya terjadi transaksi jual beli mu’athah antara seorang bermadzhab maliki dengan seorang yang bermadzhab syafi’i (yang meyakini jual beli mu’athah haram), apakah haram bagi seorang bermadzhab maliki, karena sebabnya ia membantu orang bermadzhab syafi’i atas maksiat?, terdapat pertimbangan-pertimbangan. Dan, jawaban yang lebih dekati ialah haram sebagaimana dalam kasus seorang bermadzhab syafi’i bermain catur dengan seorang bermadzhab hanafi. Akan tetapi, perlu di-crosscheck pula dalam madzhab maliki apakah berpendapat haram juga atau tidak.” (Tuhfatul Muhtaj, juz 4 hal 217).

Dalam keterangan lain, dijelaskan mengenai konsep i’anah alal ma’shiat (membantu terjadinya ma’shiat) itu berlaku ketika perbuatan (menolong) itu menjadi faktor penentu terjadinya ma’shiat. Misalnya, seorang bermadzhab syafi’i yang berpendapat sunnah diam saat khutbah jum’at, apakah diperbolehkan baginya memulai perbincangan dengan seorang bermadzhab maliki yang berpendapat diam saat khutbah itu wajib. Pendapat yang aqrab (lebih dekat) ialah tidak haram, karena seorang bermadzhab maliki bisa saja tidak menjawabnya.

(فائدة) لو كلم شافعي مالكيا وقت الخطبة، فهل يحرم عليه، كما لو لعب الشافعي مع الحنفي الشطرنج لإعانته له على المعصية أو لا؟ الأقرب عدم الحرمة ويفرق بينهما بأن لعب الشطرنج لما لم يتأت إلا منهما كان الشافعي كالملجئ له، بخلافه في مسألتنا، فإنه حيث أجابه المالكي وتكلم معه كان باختياره لتمكنه من أنه لا يجيبه ويؤخذ منه أنه لو كان إذا لم يجبه لحصل له منه ضرر، لكون الشافعي المكلم أميرا أو ذا سطوة، يحرم عليه، لكن لا من جهة الكلام، بل من جهة الإكراه على المعصية اه ع ش.

“Semisal seorang bermadzhab syafi’i memulai percakapan dengan seorang bermadzhab maliki, apakah hukumnya haram, sebagaimana seorang bermadzhab syafi’i bermain catur dengan seorang bermadzhab hanafi karena termasuk dalam I’anah alal ma’siat, atau tidak haram?. Pendapat yang lebih dekat ialah tidak haram. Terdapat perbedaan pada permainan catur, karena tidak bisa dimainkan sendirian, maka seorang bermadzhab syafi’i seolah-olah memaksa untuk bermain. Berbeda dalam masalah khutbah jum’at, seandainya pun seorang bermadzhab maliki menjawabnya dan berbincang dengannya, itu karena kehendaknya sendiri, karena bisa juga ia tidak menjawabnya.” (I’anatut Thalibin, Juz 2 hal 99)

Namun, perlu diperhatikan juga, apabila kita mengkaji konsep amar ma’ruf nahi munkar, wajib untuk melakukannya secara kolektif (wajib kifayah) sesuai dengan kemampuan. Kewajiban amar ma’ruf nahi munkar ruang lingkupnya mencakup perkara yang hukumnya haram menurut keyakinan pelakunya, meskipun menurut keyakinan yang mengingkari hukumnya boleh.

(الْأَمْرُ) بِالْيَدِ فَاللِّسَانِ فَالْقَلْبِ، سَوَاءٌ الْفَاسِقُ وَغَيْرُهُ (بِالْمَعْرُوفِ) أَيْ: الْوَاجِبِ (وَالنَّهْيُ عَنْ الْمُنْكَرِ) أَيْ: الْمُحَرَّمِ، لَكِنْ مَحَلُّهُ فِي وَاجِبٍ أَوْ حَرَامٍ مُجْمَعٍ عَلَيْهِ أَوْ فِي اعْتِقَادِ الْفَاعِلِ بِالنِّسْبَةِ لِغَيْرِ الزَّوْجِ إذْ لَهُ شَافِعِيًّا مَنْعُ زَوْجَتِهِ الْحَنَفِيَّةِ مِنْ شُرْبِ النَّبِيذِ مُطْلَقًا وَالْقَاضِي؛ إذْ الْعِبْرَةُ بِاعْتِقَادِهِ وَيَجِبُ الْإِنْكَارُ عَلَى مُعْتَقِدِ التَّحْرِيمِ وَإِنْ اعْتَقَدَ الْمُنْكِرُ إبَاحَتَهُ؛ لِأَنَّهُ يَعْتَقِدُ أَنَّهُ حَرَامٌ بِالنِّسْبَةِ لِفَاعِلِهِ بِاعْتِبَارِ عَقِيدَتِهِ فَلَا إشْكَالَ فِي ذَلِكَ، خِلَافًا لِمَنْ زَعَمَهُ، وَلَيْسَ لِعَامِّيٍّ يَجْهَلُ حُكْمَ مَا رَآهُ أَنْ يُنْكِرَهُ حَتَّى يُخْبِرَهُ عَالِمٌ بِأَنَّهُ مُجْمَعٌ عَلَيْهِ أَوْ فِي اعْتِقَادِ الْفَاعِلِ، وَلَا لِعَالِمٍ أَنْ يُنْكِرَ مُخْتَلَفًا فِيهِ حَتَّى يَعْلَمَ مِنْ الْفَاعِلِ أَنَّهُ حَالَ ارْتِكَابِهِ مُعْتَقِدٌ لِتَحْرِيمِهِ كَمَا هُوَ ظَاهِرٌ؛ لِاحْتِمَالِ أَنَّهُ حِينَئِذٍ قَلَّدَ مَنْ يَرَى حِلَّهُ أَوْ جَهِلَ حُرْمَتَهُ، أَمَّا مَنْ ارْتَكَبَ مَا يَرَى إبَاحَتَهُ بِتَقْلِيدٍ صَحِيحٍ فَلَا يَجُوزُ الْإِنْكَارُ عَلَيْهِ، لَكِنْ لو نُدِبَ لِلْخُرُوجِ مِنْ الْخِلَافِ بِرِفْقٍ فَلَا بَأْسَ

“Amar (memerintah) dengan tangan, kemudian dengan lisan, kemudian hati, bagi orang yang fasik ataupun tidak, akan perkara yang ma’ruf (wajib) dan Nahyu (mencegah) akan perkara munkar (haram) wajib hukumnya secara kolektif. Akan tetapi, ruang lingkup kewajiban amar ma’ruf nahi munkar pada perkara yang memang disepakati haramnya (mujma’ alaihi) atau perkara yang hukumnya haram menurut keyakinan pelakunya. Pada perkara yang hukumnya haram menurut keyakinan pelakunya, dikecualikan suami. Suami yang bermadzhab syafi’i misalnya, boleh melarang istrinya yang bermadzhab hanafi mengkonsumsi nabidz (minuman memabukkan selain dari perasan anggur), karena dalam kasus relasi suami istri yang dipertimbangkan ialah keyakinan suami. Dan, diwajibkan mengingkari perkara yang hukumnya haram menurut keyakinan pelakunya, meskipun seseorang yang amar ma’ruf nahi munkar meyakininya diperbolehkan.” (Tuhfatul Muhtaj Juz 9, hal 214).

Dari penjelasan di atas, dapat diperoleh kesimpulan apabila perbuatan yang dilakukan seseorang berkaitan dengan orang lain itu membantu dan menjadi faktor penentu terjadinya maksiat menurut keyakinan orang lain tersebut, maka hukumnya haram. Selain itu, tetap perlu diperhatikan bahwa terdapat kewajiban secara kolektif amar ma’ruf nahi munkar pada perbuatan yang diyakini haram oleh pelakunya, meskipun oleh orang yang mengingkari berkeyakinan hukumnya boleh. Wallahu a’lam.

 

*Mahasantri Ma’had Al-Jami’ah Al-Aly UIN Malang angakatan 4