Menikahkan Anak Tanpa Sepengetahuannya

Oleh : Falahurrofiqo, Fina Zen, dan Nur Aini Dzakiyyah

Malang – Islam memandang pernikahan sebagai sesuatu yang sangat diagungkan dan dimuliakan sebab tujuan dari pernikahan tidak lain adalah untuk membangun sebuah keluarga yang sakinah mawaddah warahmah. Terkait pertanyaan tersebut telah tercantum dalam Al-Qur’an surah Ar-Rum ayat 21 yang berbunyi:

و من آياته أن خلق لكم من أنفسكم أزواجا لتسكنوا اليها و جعل بينكم مودة و رحمة إن في ذلك لآيات لقوم يتفكرون

“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan  untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan  merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir” (Q.S. Ar Rum ayat 21)

Terlaksananya suatu pernikahan tentunya membutuhkan persetujuan calon mempelai, sebagaimana yang tercantum dalam pasal 16 Kompilasi Hukum Islam yang menyatakan bahwa “perkawinan didasarkan atas persetujuan calon mempelai.” Wali, utamanya wali mujbir (ayah atau kakek), memiliki peran penting dalam menentukan keabsahan suatu akad pernikahan.

Namun pemahaman tersirat secara global seolah mehyatakan bahwa perempuan dalam fiqih mungkin tidak memiliki hak penuh untuk memilih pasangan hidupnya. Terutama dalam kalangan ulama Syafi’iyah, dimana ayah atau kakek dianggap sebagai wali mujbir, yang memiliki hak ijbār (hak memaksa) untuk menikahkan putrinya meskipun tanpa persetujuannya.

Beberapa ulama, seperti al-Imam al-Syirazi, berpendapat bahwa ayah atau kakek boleh menikahkan gadisnya tanpa persetujuannya, terlepas dari usia gadis tersebut. Meskipun ada anjuran untuk meminta izin jika gadis tersebut sudah dewasa, pandangan ini menunjukkan perbedaan dalam interpretasi di antara ulama Syafi’iyah.

ويجوز للأب والجد تزويج البكر من غير رضاها صغيرة كانت أو كبيرة لما روى ابن عباس رضي الله عنه أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: “الثيب أحق بنفسها من وليها والبكر يستأمرها أبوها في نفسها.”

(كتاب المهذب في الفقه الإمام الشافعي – الشيرازي (أبو إسحاق الشيرازي) المجلد ٢ صحيفة 429)

Seorang ayah atau kakek boleh menikahkan gadisnya tanpa ridhanya baik gadis itu masih kecil atau dewasa sebagaimana yang diriwayatkan imam ibnu abbas ra. bahwa seseunhguhnya nabi pernah bersabda ‘Seorang tsayyib (janda) berhak atas dirinya sendiri dibandingkan dengan wali-nya. adapun seorang gadis bisa diperintah oleh ayahnya.’ ”

Menambahkan dari pendapat yang dikemukakan oleh imam Al Syirazi, Imam As Syarbiniy dalam kitabnya Mughniy Muhtaj jus 4 hal. 202 mengatakan :

النَّوْعُ الثَّالِثُ: التَّخْفِيفَاتُ وَالْمُبَاحَاتُ، وَهِيَ كَثِيرَةٌ أَيْضًا. مِنْهَا تَزْوِيجُ مَنْ شَاءَ مِنْ النِّسَاءِ لِمَنْ شَاءَ وَلَوْ لِنَفْسِهِ بِغَيْرِ إذْنٍ مِنْ الْمَرْأَةِ وَوَلِيِّهَا مُتَوَلِّيًا الطَّرَفَيْنِ

(مغني المحتاج إلى معرفة معاني ألفاظ المنهاج المجلد 4 صحيفة 202)

“Macam yang ketiga : Keringanan dan kebolehan, dan ini banyak macamnya juga. Diantaranya  seorang ayah menikahkan sendiri anak perempuannya dengan lelaki yang dikehendaki tanpa seizin pihak perempuan…”

Namun, beberapa ulama menekankan pentingnya kerelaan dan persetujuan dalam pernikahan. Mereka menyoroti bahwa akad nikah tanpa kerelaan wanita tidak sah, dan perempuan berhak menuntut pembatalan pernikahan yang dilakukan dengan paksa.

Sama halnya dengan pendapat sebelumnya, Abdurrahman Al Jaziri dalam kitab Al-fiqhu ‘ala Madzahibil Arba’ah menyebutkan tentang kebolehan wali mujbir untuk menikahkan anak perempuannya dengan tanpa izin darinya. Namun, Abdurrahman Al Jaziri merincikan beberapa hal,

إذا كانت بكراً حقيقة حكماً فللولي المجبر تزويج هؤلاء بدون استئذان ورضا بشروط، ويختص الولي غير المجبر بتزويج الكبيرة العاقلة البالغة بإذنها ورضاها سواء كانت بكراً أو ثيباً إلا أنه لا يشترط في إذن البكر أن تصرح برضائها فلو سكتت بدون أن يظهر عليها ما يدل على الرفض كان ذلك إذناً، أما الثيب فإنه لا بد في إذنها من التصريح بالرضا لفظاً فلا يصح العقد بدون أن يباشره الولي على التفصيل المتقدم كما لا يصح للولي أن يعقد بدون إذن المعقود عليها ورضاها

(كتاب الفقه علي المذاهب الأربعة المجلد 2 صحيفة 430)

Wali mujbirr boleh menikahkan anak gadisnya dengan siapapun tanpa izin dan ridho gadis tersebut dengan beberapa syarat. Dan terkhusus bagi wali ghairu mujbir ketika menikahkan anak perempuannya yang dewasa, berakal, dan baligh disertai izin dan ridhonya baik itu anak perempuan yang masih gadis ataupun sudah janda. Kecuali bagi perawan tidak diwajibkan untuk menyatakan persetujuannya. Jika ia tetap diam tanpa menunjukkan tanda-tanda penolakannya, maka itu adalah izin. Adapun bagi wanita yang sudah menikah, izinnya harus dinyatakan secara lisan, maka akadnya Tidak sah jika wali tidak melaksanakannya secara rinci di atas, demikian pula tidak diperbolehkan bagi wali untuk mengadakannya tanpa izin dan persetujuan pihak yang mengadakan perjanjian.” 

Begitu pula Imam Al Syirazi dalam kitab Al Muhadzab dan tanbih juga turut menambahkan rinciannya,

وإن كانت بالغة فالمستحب أن يستأذنها للخبر وإذنها صماتها لما روى ابن عباس رضي الله عنه أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: “الأيم أحق بنفسها من وليها والبكر تستأذن في نفسها وإذنها صماتها” ،ولأنها تستحي أن تأذن لأبيها فجعل صماتها إذناً ولا يجوز لغير الأب والجد تزويجها إلا أن تبلغ وتأذن

كتاب المهذب في الفقه الإمام الشافعي – الشيرازي (أبو إسحاق الشيرازي) المجلد ٢ صحيفة430)

Apabila gadis itu baligh maka disunnahkan untuk meminta izinnya, adapun izin dari seorang gadis adalah diamnya sebagaimana yang diriwayatkan ibnu abbas ra. bahwa sesungguhnya nabi SAW bersabda ‘seorang janda lebih berhak atas dirinya dibandingkan dengan walinya. Dan seorang gadis dimintai izinnya yang ditandai dengan keterdiamannya.’  dan  tidak boleh selain ayah atau kakek menikahkan gadis tersebut kecuali ia telah baligh dan mengizinkan

…وان  كانت حرة,ودعت الى كفؤ, وجب على الوالي تزويجها, وان كانت بكرا جاز للأب والجدّ تزويجها بغير اذا, والمستحب أن يستأذان ان كانت بالغة ,واذا السكوت, وان كانت ثيبا فان كانت عاقلة لم يجز لأحد تزويجها الاباذنها بعد البلوغ, واذا بالنطق, فان كانت مجنونة, فان كانت صغيرة جاز للأب والجدّ تزويجها, وان كانت كبيرة جاز للأب والجدّ والحاكم تزويجها,

(كتاب التنبيه أبو إسحاق الشيرازي)

“ Apabila wanita itu merdeka dan mengaku sekufu, maka wajib bagi wali untuk menikahkannya, apabila wanita itu masih gadis maka boleh bagi ayah atau kakek menikahkannya dengan tanpa persetujuannya. Dan disunnahkan meminta persetujuan gadis tersebut apabila ia telah baligh, dan izinnya adalah diam. Apabila wanita itu janda, baligh, berakal maka seseorang tidak boleh menikahkannya kecuali atas persetujuannya, dan izinnya adalah dengan ucapan. Apabila wanita itu gila, masih kecil, maka bagi ayah atau kakek boleh menikahkannya, dan apabila telah dewasa, ayah, kakek, dan hakim juga boleh menikahkannya“ .

Pernyataan di atas menjelaskan bahwa walaupun seorang ayah atau kakek boleh menikahkan tanpa persetujuan dari anak gadisnya, tetapi ia menganjurkan untuk meminta izin / persetujuan terlebih dahulu apabila anak gadis tersebut telah baligh / dewasa.  Menurut beliau meminta izin kepada calon mempelai tidaklah sebuah keharusan / kewajiban yang harus terpenuhi, melainkan hanya sebuah anjuran apabila gadis tersebut telah dewasa. Oleh karena itu sah-sah saja apabila ayah memaksa anak gadisnya menikah dengan pilihannya tanpa persetujuan dari sang gadis.

Namun meski demikian, alanngkah lebih baiknya ketika seorang wali hendak menikahkan anak perempuannya dengan seseorang untuk dikomunikasikan terlebih dahulu dengan anak perempuannya. Selain karena pernikahan merupakan ibadah yang panjang, juga untuk menjaga hubungan baik antar orang tua anak. Terlebih dalam hadist juga sudah disebutkan,

حدثنا عثمان بن ابي شيبة اخبرنا حسين بن محمد اخبرنا جرير بن حازم عن ايوب عن عكرمة عن ابن عباس” ان جارية بكرا اتت النبي صلي اﷲ عليه وسلم فذكرت  ان اباها زّوّجها وهي كارهة فخيّرها النبي صلي اﷲ عليه وسلم”

Telah menceritakan kepada kami Utsman bin Abi Syaibah telah bercerita kepada kami Husain bin Muhammad telah bercerita kepada kami Jarir bin Hazim dari Ayyub dari Ikrimah dari Ibn Abbas bahwa seorang anak gadis datang kepada Nabi SAW, lalu menceritakan bahwa ayahnya mengawinkannya padahal ia tidak menyukainya, maka Nabi SAW menyuruh untuk memilih ”.

Wallahu A’lam